Di sisi lain, upaya BI mendukung rupiah dari sisi pasokan devisa juga masih menuai tanya apakah akan cukup ampuh membantu rupiah bertahan. Sejak awal Agustus lalu, melalui regulasi yang mewajibkan penempatan devisa hasil ekspor di perbankan dalam negeri melalui berbagai instrumen seperti term deposit valas devisa hasil ekspor (TD Valas DHE), rekening khusus DHE dalam valas, promissory notes valas LPEI, deposito valas bank, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh BI, pemegang kebijakan berharap pasokan valas bisa memadai dan membantu meringankan beban pada rupiah.
Namun, dengan kini tren ekspor sudah menurun, agak sulit diharapkan devisa yang parkir di dalam negeri bisa terus meningkat. Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, sejak pewajiban aturan DHE awal Agustus lalu, nilai valas yang berhasil ditarik dari para eksportir melalui lelang instrumen TD valas DHE mencapai total US$ 2,4 miliar termasuk nilai rollover deposito.
Sementara data lain belum tersedia apakah sudah sesuai perhitungan ekspektasi para pembuat kebijakan. Dalam konferensi pers Kamis lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, bank sentral masih mengumpulkan data terkait jumlah DHE yang ditempatkan di semua instrumen tersedia.
Kinerja ekspor September lalu semakin turun menjadi sebesar US$ 20,75 miliar, setelah mencapai rekor tertinggi pada Agustus 2022 sebesar US$ 27,9 miliar. Perhitungan BI, aturan devisa hasil ekspor itu bisa menarik US$ 9,2 miliar sampai akhir tahun nanti.
Tanpa ada gebrakan baru yang memadai, akan sulit bagi rupiah untuk bertahan dari gempuran sentimen eksternal yang memicu arus keluar modal asing terus menerus.
Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menilai, perlu ada insentif fiskal besar-besaran agar dana hasil ekspor bisa lebih banyak disimpan di perbankan dalam negeri. "Misalnya melalui pemangkasan pajak final bunga deposito hingga 60% dari tarif normal," kata Bhima.
Bila itu masih belum ampuh, maka pemerintah perlu memberanikan diri untuk mengubah aturan kewajiban DHE dari saat ini hanya 30% menjadi 60%-70% dari transaksi ekspor. BI dan pemerintah perlu lebih padu memfokuskan upaya agar pasokan valas di pasar domestik bisa lebih banyak.
Dengan aturan yang lebih 'menggigit', cadangan devisa bisa diperkuat setelah melemah ke level terendah sejak November lalu, akibat terkuras untuk mengintervensi tekanan pada rupiah.
Instrumen baru SVBI
Mulai 17 November nanti Bank Indonesia akan merilis instrumen moneter baru untuk mendukung rupiah yaitu Sertifikat Valas Bank Indonesia (SVBI).
Instrumen ini mirip dengan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang sebelumnya sudah dilansir. Namun, berkaca dari SRBI yang sejauh ini belum terlalu greget, belum ada jaminan bahwa SVBI akan bisa menarik modal asing lebih banyak. Data BI mencatat, sejak 15 September lalu, pemodal asing mencatat posisi beli bersih SRBI sebesar Rp11,06 triliun.
Dalam beberapa kali lelang SRBI terakhir yang digelar oleh bank sentral, animo pemodal terus turun. Pekan lalu, nilai permintaan yang masuk bahkan anjlok 50% dibanding pekan sebelumnya akibat pemburukan sentimen global.
BI juga menyiapkan instrumen derivatif untuk melengkapinya yaitu Interest Rate Swap (IRS) antara suku bunga tetap dan variabel. Namun, antara rupiah dan valas BI juga akan perdalam pasar swap valuta asing (valas) sehingga bagi investor maupun institusi keuangan dalam negeri memiliki banyak variatif pilihan untuk instrumen likuiditas jangka pendek.
“Rupiahnya bisa SRBI, valasnya bisa SVBI, untuk lindung nilai derivatifnya itu pakai IRS bisa FX Swap, ini akan semakin lengkap. Istilahnya kami akan memperdalam danau untuk investasi portofolio baik perbankan dalam negeri maupun bagi investor asing. Kami ingin buat pasar uang rupiah dan pasar valas itu lebih menarik,” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo.
Dengan berbagai amunisi itu, kekuatan rupiah diharapkan bisa bertahan. Sampai jelang sore ini, kurs dolar AS di pasar spot terpantau bergerak stabil di Rp15.855/US$.
Analisis Samuel Sekuritas, ada sinyal pembalikan arah dari pasar obligasi pasca yield UST menyentuh level rekor 5% semalam. "Yield US Treasury sudah ada tanda-tanda peak di 5%, perkiraan saya 1-2 minggu ini akan konsolidasi dan akan berbalik inflow [modal asing]," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Pasar akan menanti data pertumbuhan ekonomi Kamis nanti yang bisa memberi konfirmasi akan optimisme terakhir tersebut.
-- dengan bantuan Mis Fransiska Dewi.
(rui)