Dia menjelaskan anggaran subsidi energi dalam APBN hanya diperuntukkan bagi Solar, minyak tanah, LPG 3 kg, dan listrik 450 volt. Itu sebabnya, meski harga Indonesian Crude Price (ICP) mengalami kenaikan, subsidi energi selalu diklaim masih mencukupi hingga akhir 2023.
Sebaliknya, jika skenarionya Pertalite dimasukkan ke dalam pos subsidi, defisit fiskal Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah pasti jebol di atas Rp2,5 triliun, bahkan hampir Rp3 triliun. Itulah sebabnya, menurut Tauhid, Pertalite masuk ke pos kompensasi.
“Jadi, ini memang suatu problem dalam penganggaran kita. Kalau semua harus dibebankan sekarang, misal harus dibayar Pertalite dari kompensasi pada tahun ini, bisa-bisa defisit [fiskal] di atas 3% [dari PDB] dan itu melanggar undang-undang.”
“Pemerintah dan DPR pintar dengan mekanisme itu. Coba buka APBN 2024 yang sudah disahkan Oktober. Itu tidak ada [subsidi energi untuk] Pertalite. Di Nota Keuangan juga tidak masuk dalam subsidi, [Pertalite] masuknya sebagai kompensasi. Munculnya tidak di perencanaan, tetapi di pelaporan. Itu yang membedakan,” kata Tauhid.
Atas dasar itu, lanjutnya, sampai dengan Februari 2024 pemerintah tidak akan berani menaikkan harga Pertalite sebelum presiden baru terpilih.
“Semua di-pending. Jadi sekarang APBN dikorbankan. Jadi apapun at all cost diusahakan supaya inflasinya rendah. Beras harus impor besar-besaran, subsidi ditambah kecuali [BBM] nonsubisdi yang harganya dibiarkan mengikuti pasar. Untuk Pertalite, kalaupun harga dasarnya naik, otomatis harga keekonomian tidak mungkin jadi Rp12.000/liter. ‘Subsidinya’ ditanggung pemerintah; tidak sekarang, tetapi pada tahun depan,” terangnya.
Dia pun memperkirakan nilai tukar rupiah akan terus mengalami pergolakan hingga akhir tahun ini. Terlebih, inflasi global belum menunjukkan tanda-tanda penurunan di bawah 3%.
Inflasi Amerika Serikat (AS) pun masih 4%, jauh di atas target 2%, sehingga masih ada kemungkinan The Federal Reserves (The Fed) menaikkan lagi bunga acuannya, yang berujung pada risiko depresiasi rupiah lebih dalam.
“Kecuali Bank Indonesia progresif menaikkan suku bunga acuannya, tidak 25 basis poin, tetapi langsung 50 basis poin. Kan selama ini BI berhati-hati. Kalau dia progresif, ekonomi RI langsung anjlok. Suku bunga naik, kredit turun,” tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menganggarkan subsidi dan kompensasi untuk sektor energi sebesar Rp329,9 triliun pada RAPBN 2024. Dari besaran tersebut, alokasi anggaran subsidi khusus energi dipatok sebesar Rp185,87 triliun.
Subsidi ini terbagi untuk belanja subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp110,04 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp75,83 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan naiknya nilai subsidi energi itu juga dipicu oleh asumsi nilai tukar rupiah yang dikerek ke level Rp15.000 per dolar AS dalam RAPBN tahun depan. “Kemudian, untuk energi dalam hal ini LPG 3 kilogram, listrik dan BBM, kita lihat konsumsinya meningkat cukup tajam.”
Volume penyaluran LPG tabung 3 kg mengalami tren kenaikan. Pada 2019, jumlah penyaluran sebanyak 6,8 juta metrik ton, tetapi naik menjadi 7,8 juta metrik ton pada 2022.
Selain itu, kuota penyaluran LPG tabung 3 kg pada APBN 2023 sebanyak 8,0 juta metrik ton. Di sisi lain, pemerintah telah merealisasikan subsidi listrik selama periode 2019—2022, dan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,2%.
Subsidi listrik semula Rp52,66 triliun pada 2019 menjadi Rp56,24 triliun pada 2022. Dalam outlook 2023, subsidi listrik diperkirakan mencapai Rp70,88 triliun.
Selain itu selama periode 2019—2023, perkembangan volume penyaluran BBM jenis Solar cenderung mengalami kenaikan dari realisasi penyaluran sebanyak 16,2 juta kilo liter pada 2019 menjadi 17,6 juta kilo liter pada 2022.
(wdh)