Kenaikan ini akan mendorong biaya produksi perusahaan menjadi lebih tinggi, karena mereka harus membayar bunga yang lebih tinggi untuk pinjaman. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami penurunan keuntungan.
“Secara teoritis kenaikan suku bunga BI memiliki dampak negatif terhadap konsumsi. Konsumsi masyarakat akan mengalami penurunan karena harga barang dan jasa cenderung naik akibat biaya produksi yang lebih tinggi yang salah satu alasannya karena mahalnya cost of fund,” katanya.
Selain berdampak pada konsumsi, kenaikan suku bunga BI juga dapat berdampak positif pada inflasi. Hal ini terjadi melalui penurunan permintaan agregat yang dipicu oleh kenaikan suku bunga. Kenaikkan suku bunga berpotensi membuat pinjaman lebih mahal.
“Kondisi tersebut tentunya juga berpotensi mengurangi pengeluaran masyarakat secara keseluruhan. Sehingga dapat membantu mengendalikan tekanan inflasi karena permintaan yang lebih rendah dapat mengurangi dorongan harga barang dan jasa,” ujar dia.
Sebelumnya, BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin (bps) menjadi 6%. Keputusan ini di luar ekspektasi pasar.
“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptif dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024,” kata Perry dalam konferensi pers usai RDG.
(mfd/frg)