“Efektif yield curve Jepang yang sudah mencapai 0,8%, membuat peralihan Global Fund flow dari Amerika Serikat ke Jepang, menyebabkan UST yield menarik, yang menyebabkan dana keluar dari emerging market,” tegas dia.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan rupiah, bank sentral dilaporkan Bloomberg News melakukan intervensi di pasar spot valas juga domestic non-deliverable, menurut Edi Susianto, Direktur Eksekutif Moneter Bank Indonesia (BI), Senin siang.
Regulator moneter Indonesia kemudian melihat pelemahan rupiah masih sejalan dengan sebagian besar pergerakan kurs mata uang lain di Asia. Pada pukul 10:46 rupiah bergerak melemah 0,5% menjadi Rp15.960/US$.
Posisi tersebut merupakan rekor tertinggi sejak April 2020. Keputusan menaikkan suku bunga oleh BI turut direspon pasar dengan hasilnya berupa pelemahan rupiah. Yield obligasi Indonesia lima tahun dilaporkan naik tipis 5 bps menjadi 7.07%.
Saat volatilitas makin memburuk beberapa ekonom menyatakan peluang menaikkan kembali tingkat bunga menjadi besar, atau sekitar 6,5%. Minggu lalu BI membuat keputusan dengan mengatrol tingkat bunga 25 bps, dengan harapan gejolak rupiah mereda. Namun faktanya volatilitas masih terjadi.
Artinya kalkulasi bahwa BI 7-Day Reverse Repo Rate akan sebesar 25 bps lagi hingga menggenapkan menjadi 50 bps hingga tutup tahun 2023, bisa saja terjadi. Posisi suku bunga 6% saat ini menunjukkan bank sentral telah menyamai puncak yang sebelumnya terjadi pada 2019.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa terdapat lima isu global yang menjadi perhatiannya dan bergerak sangat cepat. Pertama, perekonomian global melambat dengan divergensi antar-negara melebar. BI memperkirakan ekonomi global pada 2023 tumbuh 2,9% dan 2024 melambat menjadi 2,8%. Kedua, terjadi peningkatan ketegangan geopolitik terutama di Timur Tengah hingga mengatrol harga minyak dan pangan ke arah yang makin tinggi.
Ketiga, suku bunga di negara maju termasuk AS akan tetap tinggi dalam jangka waktu lama alias higher for longer. Keempat, perbedaan suku bunga instrumen jangka pendek dan jangka panjang makin pendek. Kelima, terjadi aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pery selanjutnya memberi sinyal bahwa regulator siap merespon lewat kebijakan lebih serius jika diperlukan.
Analis dari Bank Central Asia, M Rifat Juniardo dan Barra Kukuh menyatakan, ini mungkin merupakan strategi yang harus dilakukan sekali saja untuk menegaskan komitmen BI dalam rangka stabilisasi rupiah. “Namun saat penilaian kami akan perekonomian global akan lebih cenderung bergejolak dan ‘tekanan masih lebih tinggi’ di masa mendatang, maka hal ini akan berdampak buruk bagi perekonomian global — dan menjadi awal dari siklus kenaikan sku bunga baru,” tulis mereka.
- Dengan asistensi Claire Jiao dan Grace Sihombing.
(wep)