Bukan cuma itu, rupiah yang terus anjlok bisa mendorong Bank Indonesia kembali mengerek bunga acuan. Para analis memperkirakan BI7DRR bisa terus dikerek hingga ke 6,5% bila rupiah terus melemah dengan cepat dengan tingkat kejatuhan lebih buruk dibandingkan mata uang kawasan. Bunga acuan yang terus tinggi membuka risiko kenaikan beban pinjaman baik bagi korporasi maupun level rumah tangga.
Di tengah panasnya perpolitikan jelang Pemilu dan Pilpres 2024, situasi perekonomian yang tidak menguntungkan bisa semakin membebani legacy Presiden Joko Widodo di tahun terakhirnya berkuasa, di mana saat ini sudah mulai terkikis pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai menciderai nilai-nilai demokrasi di republik.
Berikut ini dampak pelemahan rupiah bagi perekonomian yang penting menjadi perhatian di tengah makin panasnya suhu politik jelang 2024:
BBM bisa naik
Rupiah yang terus melemah mengancam kenaikan harga BBM yang sangat pivotal memengaruhi inflasi keseluruhan. Analisis dari Bank Mandiri memperhitungkan, bila rupiah terus bergerak melemah di atas Rp15.500/US$ ditambah harga minyak dunia stabil di atas US$ 90 per barel dalam 1-2 bulan ke depan, harga BBM bersubsidi, termasuk Pertalite, bisa naik.
Dalam asumsi makro APBN 2022 dengan harga dolar AS di Rp14.800/US$, kenaikan minyak dunia per US$ 1 per barel bisa mengerek harga keekonomian BBM di Indonesia sebesar Rp200/liter.
Harga minyak dunia sejak awal September sudah bergerak rata-rata di kisaran US$ 90,31/barel untuk jenis Brent. Sementara minyak WTI pada periode yang sama bergerak di US$ 76,16/barel. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak di kisaran Rp15.512/US$ pada periode yang sama.
Kenaikan harga minyak dunia dan dolar AS yang makin mahal, telah melonjakkan nilai impor minyak Pertamina. Data Badan Pusat Statistik, nilai impor minyak mentah oleh BUMN migas melonjak hingga 94,4%.
PT Pertamina Persero sudah mengerek harga BBM nonsubsidi dua bulan berturut-turut akibat lonjakan harga minyak yang terjadi berbarengan dengan pelemahan rupiah. Kenaikan Pertamax dkk bisa menggeser konsumsi masyarakat beralih ke BBM subsidi di mana itu menjadi ancaman juga bagi pembengkakan subsidi energi yang ditanggung oleh APBN.
Setiap 10% kenaikan harga bensin Pertamax atau di atasnya berpotensi meningkatkan inflasi sebesar 0,04 poin persentase, menurut perhitungan Bank Mandiri. Sementara itu, kenaikan harga Pertalite 10% berpotensi meningkatkan inflasi sebesar 0,27%.
Inflasi barang impor
Pelemahan rupiah yang semakin dalam bisa memicu inflasi barang impor (imported inflation). Maklum, Indonesia masih banyak mengandalkan impor untuk banyak jenis barang konsumsi juga impor bahan baku atau bahan penolong produksi.
Mengacu data BPS, pada September lalu, nilai impor RI turun 8,15% menjadi US$ 17,34 miliar. Meski turun, angka impor nonmigas untuk jenis barang modal dan barang konsumsi tercatat naik masing-masing 9,11% dan 7,34%.
Impor komoditas seperti garam, belerang, batu dan semen tercatat naik tertinggi hingga 43,3% menjadi US$ 33,3 juta, diikuti impor biji dan buah mengandung minyak yang naik 24,13%, juga impor buah-buahan yang naik 23,1%.
Bila rupiah semakin melemah, otomatis biaya mengimpor barang-barang konsumsi dan barang modal juga turut naik. Bagi pengimpor, demi menjaga margin keuntungan, mau tidak mau ia akan mengerek harga jual ke pembeli.
Tanpa diimbangi kenaikan pendapatan, harga barang yang semakin mahal akan mengerek pengeluaran rumah tangga dan menggerus daya beli masyarakat untuk pos kebutuhan lain.
Beras
Indonesia bukan lagi negara eksportir beras dan belum mampu berswasembada beras. Beras masih harus dibantu impor dari negara-negara penghasil utama seperti India, Vietnam atau Thailand.
Pelemahan rupiah bisa semakin mengerek harga beras yang sejauh ini sudah mencatat rekor kenaikan tertinggi dalam hampir 10 tahun.
Sebagai gambaran, Indonesia sudah mengimpor beras sampai September lalu sebesar 1,78 juta ton, sebagian besar dari Thailand dan Vietnam. Besar impor itu nilainya setara dengan US$ 980 juta, setara dengan Rp15,61 triliun dengan kurs saat ini.
Dengan saat ini pasokan beras masih ketat di pasar global dan telah menaikkan harga beras di Indonesia sampai hampir 19% bulan lalu, tertinggi dalam 10 tahun, semakin mahalnya dolar AS akan semakin mengerek harga beras lebih tinggi lagi.
Beras sejauh ini masih menjadi makanan pokok orang Indonesia. Bila harganya semakin mahal, dampaknya bisa semakin besar menggerogoti daya beli orang Indonesia terutama di kalangan miskin dan rentan di mana pengeluaran konsumsi bisa memakan pendapatan hingga 20%.
Beban cicilan makin besar
Pelemahan rupiah yang terus berlangsung dalam beberapa bulan terakhir tanpa jeda telah mendorong Bank Indonesia mengerek bunga acuan jadi 6%. Kenaikan BI7DRR setelah dipertahankan di level 5,75% sejak Januari lalu bisa menjadi awal dari siklus pengetatan baru oleh bank sentral.
Kenaikan bunga acuan menjadi kabar buruk bagi para debitur kredit baik korporasi atau rumah tangga. Beban cicilan KPR, misalnya, bisa semakin tinggi dengan potensi kenaikan tingkat bunga floating rate KPR.
Bagi korporasi, kebutuhan modal juga semakin mahal dengan potensi kenaikan bunga kredit. Akhirnya, harga jual barang ke konsumen pun bisa lebih mahal supaya korporasi tetap mendapatkan untung.
Intervensi BI
Hari ini Bank Indonesia langsung mengguyur pasar dengan dolar AS agar pelemahan rupiah tertahan tak sampai menjebol Rp16.000. "BI terus mengawal dengan masuk pasar baik di pasar spot dan pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF)," kata Edi Sucianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter Bank Indonesia.
Bank Indonesia menilai, tekanan dolar AS dialami oleh hampir semua mata uang yang menjadi lawan the greenback. Penyebabnya masih faktor eksternal termasuk tensi geopolitik yang makin panas di Timur Tengah.
-- dengan bantuan dari Mis Fransiska Dewi dan Sultan Ibnu Affan.
(rui)