Dengan bunga acuan 6% saat ini sudah setara dengan level tertinggi sebelumnya, ada peluang BI7DRR akan naik di level rekor tertinggi lagi dalam waktu dekat.
"Skenario dasar kami ada 6,25% dengan risiko kenaikan 50 bps bila depresiasi rupiah semakin signifikan. Risiko pelemahan rupiah masih akan terbuka dalam waktu dekat. Kami prediksi, BI akan terus mengambil sikap lebih aktif bila pelemahan rupiah terjadi terlalu dalam, terutama bila kecepatan pelemahannya melampaui mata uang kawasan," kata Brian Tan dan Audrey Ong, analis Barclays di Singapura seperti dilansir dari Bloomberg News, Senin (23/10/2023).
Pandangan tidak jauh berbeda datang dari analis PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). "Bunga acuan kami perkirakan sebesar 6,25% di akhir 2023 karena kondisi global yang semakin bergejolak bisa mendorong pelemahan rupiah lebih jauh," kata Rifat Juniardo dan Barra Kukuh Mania, analis BCA.
Salah Timing
Sejak BI mengerek bunga acuan jadi 6% pada Kamis pekan lalu, sampai saat ini tekanan terhadap rupiah belum terjeda. Bahkan di pasar spot sampai siang ini, rupiah diperdagangkan semakin lesu mendekati Rp16.000/US$, dengan kehilangan hingga 63 bps ke Rp15.963/US$.
Rupiah menjadi valuta terlemah di Asia sampai siang ini dengan pelemahan mencapai 0,58%, disusul baht Thailand yang tergerus 0,3%, sementara ringgit Malaysia kian lemah 0,27%.
Mayoritas mata uang Asia tergerus keperkasaan dolar AS sampai siang ini menyusul langkah pemodal global yang terus berburu safe haven di tengah ketidakpastian yang meningkat, salah satunya karena tensi konflik Gaza. Ditambah lagi terus melejitnya imbal hasil US Treasury yang terakhir terpantau sudah di 4,9%. Imbal hasil US Treasury sudah sempat menyentuh 5% pekan lalu.
Kenaikan yield Treasury itu kian menyempitkan selisih imbal hasil investasi RI dengan Amerika dengan kini jaraknya tinggal 210 bps, masih jauh lebih sempit dibanding selisih terlebar Maret lalu di 340 bps. Meski yield spread itu sudah lebih lebar dibanding pekan lalu yang sempat hanya berjeda 188 bps.
"Kenaikan BI7DRR salah timing sehingga terlihat tidak berpengaruh [menyokong rupiah]," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Kombinasi dari tiga sentimen pemberat yakni konflik Timur Tengah, dolar AS yang makin menguat karena kian diburu sebagai safe haven, juga harga minyak yang masih di level tinggi, mengepung kekuatan nilai tukar. Semakin suram karena pasar saham kini 'terbakar' akibat sentimen bunga acuan yang bisa terus naik di sisa tahun. Ditambah lagi ketidakpastian dari konstelasi terakhir perpolitikan Tanah Air jelang Pemilu dan Pilpres 2024 nanti.
"Pelaku pasar semakin pusing karena Pilpres 2024 kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran," kata Lionel.
(rui/aji)