Sedangkan perihal skema titip jual, manajemen LPCK akan menjawabnya kemudian hari usai mendapat penjelasan dari pihak MSU.
Sebelumnya, Lippo Cikarang mengklarifikasi kabar penjualan apartemen Meikarta hanya 18 ribu unit bukan 100 ribu unit. Itupun masih belum seluruhnya telah diserahterimakan. Ketut mengakui bahwa terjadi kesalahan pencatatan penjualan saat pengelolaan MSU dipegang oleh konsorsium.
“100 ribu setelah kami lihat hanya 18 ribu. Dari (18 ribu) ini, 30% atau 4.200 unit sudah diserahterimakan. Ternyata banyak sekali double yang dibuat oleh agen-agen. Sebagaimana diketahui, waktu pertama kali proyek ini dirilis itu banyak sekali agen-agen properti yang direkrut oleh konsorsium,” cerita Ketut.
Mandeknya proyek yang menyita perhatian banyak pihak ini, lanjut Ketut, bukan dimaksudkan untuk merugikan konsumen. Bahkan, ia mengklaim, proyek Meikarta ini adalah bagian dari upaya membangun kota mandiri bagi masyarakat yang membutuhkan hunian, khususnya di kawasan industri wilayah Bekasi dan Purwakarta.
“Kami tidak ingin membawa masalah kepada negeri ini. Seperti diketahui banyak sekali yang tidak mampu membeli unit-unit, tapi ini unit sangat murah. Waktu itu rata-rata per m2 adalah Rp 7 juta, sekarang per m2 lebih lebih Rp 11 juta-Rp 15 juta,” jelas Ketut.
Untuk unit tersisa yang belum diterima konsumen, Indra Azwar, CEO PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), menyatakan akan diproses secara bertahap hingga tahun 2027. Sampai dengan akhir 2023 target perseroan akan serah terima 2.200 unit. Pada dua tahun berikutnya masing-masing akan diselesaikan 3.400 unit dan 3.000 unit.
“Di 2026, akan kami serahkan 3.100 unit atau sekitar 10% dan sisanya di tahun 2027 yaitu sebesar 1.997 atau 7%,” kata Indra.
Bagi Ketut, fokus LPCK adalah memenuhi janji kepada konsumen seperti hasil kesepakatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). “Sebetulnya kami sekarang tidak menghitung untung rugi. Ini adalah kewajiban yang akan kami tuntaskan. Itu janji kami dan kami terus deliver, artinya bukan janji-janji bohong, kami tidak melakukan hal-hal yang merugikan konsumen,” jelas dia.
(wep)