Logo Bloomberg Technoz

Perang Rusia-Ukraina membuat rantai pasok global terganggu. Belum lagi permintaan ‘meledak’ karena berbagai negara semakin melonggarkan batasan aktivitas masyarakat seiring pandemi Covid-19 yang mereda.

Saat pasokan berkurang dan permintaan naik, maka sudah pasti hasilnya adalah kenaikan harga. Inilah yang terjadi di berbagai komoditas, termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia.

Harga batu bara acuan di pasar ICE Newcaste Australia sepanjang 2022 rata-ratanya adalah US$ 357,83/ton. Melonjak 161,8% dibandingkan rerata 2021.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), batu bara masuk di kelompok HS 27 yaitu bahan bakar mineral. Sepanjang 2022, ekspor HS 27 (yang didominasi batu bara) tercatat US$ 54,98 miliar. Melonjak 67.46% dibandingkan 2021. Ekspor kelompok ini punya porsi 19,92% terhadap total ekspor non-migas dan berada di peringkat pertama.

Di posisi kedua ada kelompok lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15) dengan porsi 12,76% dari total impor non-migas, atau bernilai US$ 35,2 miliar. Kelompok ini didominasi minyak sawit mentah (CPO), yang juga mengalami lesatan harga pada 2022.

Di Bursa Malaysia, rata-rata harga CPO sepanjang tahun lalu adalah MYR 4.910,36/ton. Naik 18,33% dibandingkan rata-rata 2021.

Jadi, tidak heran transaksi berjalan membukukan surplus yang luar biasa. Sebab kinerja ekspor Indonesia memang ‘menggila’.

“Kinerja transaksi berjalan tersebut bersumber dari surplus neraca perdagangan non-migas yang terjaga, didukung oleh harga komoditas ekspor yang tetap tinggi,” tulis laporan Bank Indonesia (BI).

Namun karena masih mengandalkan ekspor komoditas, yang kinerjanya sangat bergantung kepada harga, pencapaian transaksi berjalan yang impresif pada 2022 kemungkinan sulit terulang pada 2023. BI memperkirakan transaksi berjalan tahun ini ada di kisaran surplus 0,4% PDB hingga defisit 0,4% PDB. 

Jadi meski masih bisa positif, tetapi pencapaiannya sulit mengulangi realisasi 2022. Bahkan ada risiko kembali ke zona negatif.

Pasalnya, harga komoditas diperkirakan melandai. Untuk CPO, S&P Global memperkirakan harga rata-rata pada 2023 adalah MYR 3.800/ton. Kalau dibandingkan dengan rata-rata 2022, maka harga anjlok 22,61%.

Saat ini, harga CPO ada di MYR 4.195/ton. Secara teknikal, ada risiko melemah ke MYR 3.952,92-3.965,63/ton seperti terlihat di grafik moving average (MA) 50 dan 100.

Sumber: Bloomberg

Sementara harga batu bara juga diprediksi turun. Fitch Solutions memperkirakan rata-rata harga batu bara sepanjang 2023-2026 ada di US$ 246/ton. Dibandingkan rerata tahun lalu, harga melemah 31,25%.

Namun dalam waktu dekat, harga si batu hitam masih menyimpan potensi penguatan dari posisi sekarang yang US$ 209,35/ton. Berdasarkan analisis teknikal, MA 50 ada di US$ 340,91/ton. Bahkan MA 100 dan 200 menunjukkan posisi US$ 357,73/ton dan US$ 384/3/ton. 

Sumber: Bloomberg

Sebenarnya koreksi harga komoditas sudah terjadi awal tahun ini. Misalnya, secara year-to-date harga batu bara sudah anjlok 48,19%.

Ini membuat kinerja ekspor Indonesia mulai mengendur. Pada Januari 2023, nilai ekspor Indonesia turun 6,36% dibandingkan bulan sebelumnya dan jadi yang terendah sejak Mei 2022.

Sumber: Bloomberg

"Sepanjang 2022, (kinerja perdagangan) Indonesia menikmati windfall akibat kenaikan harga komoditas unggulan di pasar internasional. Namun per Januari 2023, nilai ekspor untuk komoditas unggulan mengalami penurunan secara bulanan," tutur Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam jumpa pers pekan lalu.

Penurunan kinerja ekspor berarti pelemahan transaksi berjalan hampir dapat dipastikan. Ketika ada sinyal transaksi berjalan akan mengalami tekanan, maka rupiah akan kena dampaknya.

Memang betul secara year-to-date rupiah masih menguat sekitar 2% di hadapan dolar AS. Namun sejak memasuki Februari, rupiah cenderung melemah dan sudah hampir menyentuh Rp 15.200/US$.

Secara teknikal, risiko depresiasi rupiah cukup terbuka. Dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin rupiah menyentuh titik resistance Rp 15.437/US$.

Sumber: Bloomberg

(aji)

No more pages