“Dalam [rapat] TPIP [Tim Pengendalian Inflasi Pusat], didiskusikan agenda strategis untuk menghadapi Lebaran, seperti [menjagaa target inflasi] 3%+/- 1%, memperkuat kebijakan dan menjaga stabilitas [harga pangan], menjaga ketersediaan volatile food selama Hari Besar Keagamaan, memperkuat pertahanan pangan, dan memperkuat komunikasi,” ujarnya dalam Konferensi Pers High Level Meeting TPIP, Senin (20/02/2023).
Dia menambahkan pemerintah dan bank sentral sudah menyiapkan beberapa program pengendalian inflasi jelang Ramadan. Misalnya, Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) dari Bank Indonesia, yang sejauh ini diklaim telah berhasil menurunkan inflasi sebesar 11,7% pada tahun lalu menjadi sekitar 5,61%.
Ke depannya, pemerintah dan otoritas moneter juga akan mendorong sinergi agar inflasi indeks harga konsumen (IHK) tetap dalam sasaran 2023.
Sekadar catatan, BI optimistis inflasi inti akan bergerak paling tinggi di level 3,6% yoy pada semester I-2023, sedangkan Indeks Harga Konsumen (IHK) akan kembali turun di bawah 4% yoy pada semester II-2022 dengan estimasi level tertinggi 3,5% yoy.
Terkait dengan upaya kementerian teknis dalam mengantisipasi Ramadan, Presiden Joko Widodo telah memanggil Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ke Istana Kepresidenan pada Jumat pekan lalu.
Menteri yang akrab disapa SYL itu melaporkan status terkini produksi panen raya beras di Tanah Air, yang akan jatuh pada periode Februari—Maret di berbagai sentra produsen padi dan gabah.
“Dari data BPS [Badan Pusat Statistik], untuk Februari saja [luasan panen raya mencapai] kurang lelbih 1 juta hektare. Kemudian, untuk Maret ada 1,9 juta hektare. Itu baru awal panen raya," ujarnya, Jumat (17/02/2023).
Syahrul memastikan serapan pemerintah untuk produsi saat panen raya akan dimaksimalkan guna menjaga stabilitas harga. Dia pun berharap harga beras terjaga di tingkat konsumen, tetapi juga tidak anjlok di tingkat produsen guna menjaga daya beli petani.
Menyitir rekapitulasi data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rerata harga beras dari berbagai tipe medium di tingkat nasional per Senin (20/02/2023) berada di rentang Rp12.000/kg—Rp13.050/kg.
Adapun, rerata harga beras dari berbagai tipe premium berada di rentang Rp14.100/kg—Rp14.600/kg.
Nilai tersebut masih jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan pemerintah di wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra senilai Rp9.450/kg untuk beras medium dan Rp12.800/kg untuk tipe premium.
Adapun, ketentuan mengenai harga acuan beras termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 57/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras.
Kenormalan Baru
Anomali harga beras sebelum memasuki Ramadan sejatinya sudah terasa sejak awal tahun ini. Namun, menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), lonjakan harga beras yang terjadi belakangan ini di Tanah Air tidak sepenuhnya dipicu oleh turunnya produksi dari petani.
Kepala Bapanas atau National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi belum lama ini menyebut tren kenaikan harga beras ikut dipengarugi oleh tekanan biaya produksi.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga membuat para petani harus merogoh kocek lebih dalam untuk biaya produksi.
“Memang sedang membentuk keseimbangan baru, maksudnya setelah ada adjustment dari bahan bakar, kenaikan biaya biaya, variabel cost yang ada, memang harus ada adjustment [harga],” katanya dalam seminar daring bertajuk Indonesia Policy Dialogue yang digelar oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Rabu (08/02/2023).
Tidak hanya kenaikan harga BBM, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ikut berpengaruh pada kenaikan biaya produksi beras. Seteru dua negara tersebut membuat harga pupuk melambung tinggi.
Kenaikan harga pupuk diketahui tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, akibat dari kelangkaan pasok. Sebagian besar stok pupuk Indonesia memang berasal dari negara yang sedang berkonflik itu.
Arief menyebut lonjakan harga beras belakangan ini terjadi lantaran Indonesia belum memasuki masa panen raya.
“Mengapa Januari dan awal Februari masih tinggi harganya? Karena memang panennya belum melebihi dari produksinya dan kita semua tahu, kita paham,” katanya.
Dia mengelaborasi kebutuhan beras dalam negeri selama setahun adalah sekitar 30 juta ton, sehingga per bulannya dibutuhkan beras 2,5 juta ton. Berdasarkan data BPS, sepanjang Januari—Desember 2021, terdapat surplus 1,3 juta ton.
Kemudian, untuk periode 2022 terdapat surplus 1,46 juta ton. Jika ditotal, selama dua tahun terakhir, sebenarnya Indonesia surplus beras 2,7 juta ton.
"Konsumsi beras per bulan 2,5 juta ton dan surplus beras mencapai 2,7 juta ton. Seharusnya Indonesia mempunyai kelebihan stok beras untuk 1 bulan," tuturnya.
Namun, kelangkaan beras masih terjadi karena stok beras tersebut berada di masyarakat yang membuat pemerintah kesulitan menstabilkan ketersediaannya. Selain itu, produksi beras pada Januari 2023 tercatat hanya mencapai 1,51 juta ton.
“Kita bandingkan antara data produksi dan konsumsi itu memang kurang. Kalau dilihat hari ini beras ada, di masyarakat ada, tetapi kalau pada level penggilingan atau petani, gabah kering panen itu rebutan,” jelasnya.
(wdh)