Grafit, yang dianggap sangat sensitif, akan tunduk pada pengendalian ekspor "barang berkegunaan ganda" mulai 1 Desember.
Pengumuman tersebut muncul beberapa hari setelah AS memperkuat upaya untuk mencegah teknologi chip canggih masuk ke China. Beijing mengatakan langkah-langkahnya tidak menargetkan negara tertentu.
Grafit merupakan bahan yang sangat penting untuk memproduksi anoda baterai kendaraan listrik (EV), yakni terminal di dalam sel isi ulang. China menyumbang sekitar 60% dari kapasitas produksi alami dan 90% dari jenis sintetis yang biasanya lebih tahan lama, mengisi daya lebih cepat, dan meningkatkan keamanan.
Ahn mengatakan bahwa Korea Selatan akan memantau tingkat keparahan situasi yang berkembang. Ia merujuk pada keputusan China pada bulan Agustus untuk membatasi ekspor galium dan germanium — dua logam yang sangat penting untuk sebagian industri semikonduktor, telekomunikasi, dan kendaraan listrik — sebelum ekspor dilanjutkan pada bulan berikutnya.
"Pada saat itu, tindakan tersebut terutama ditujukan terhadap Amerika Serikat," katanya. "Jadi kita perlu melihat seberapa besar dampaknya terhadap industri kami, dan kemudian kami akan melihat apa yang dapat kami lakukan."
Ahn juga merujuk pada kesepakatan awal tahun ini di antara anggota Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran (Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity/IPEF) yang dipimpin oleh AS terkait koordinasi rantai pasokan, yang mengatakan bahwa kesepakatan tersebut bisa membantu mengatasi potensi kekurangan grafit.
"Salah satu perbedaannya adalah 14 negara IPEF telah mendirikan perjanjian rantai pasokan dan mekanisme untuk melindungi kami," katanya. "Saat kami menghadapi masalah, dalam dua minggu kami perlu berbagi informasi dan kami akan mengoordinasikan mekanisme respons kami."
"Jadi, hal-hal seperti ini akan sangat membantu dalam mengatasi situasi ini," tambahnya.
Mitra IPEF saat ini sedang melakukan pembicaraan di Malaysia dan mungkin sudah melakukan tindakan untuk mengatasi masalah ini, kata Ahn.
Korea Selatan sangat bergantung pada impor bahan dan energi untuk meningkatkan ekspornya. Ahn mengatakan bahwa negara ini seharusnya bisa menghadapi tantangan terbaru ini berkat pelajaran dari pengalaman sebelumnya.
"Kami pernah mengalami periode yang penuh gejolak antara Jepang dan Korea, ketika mereka memulai tindakan pengendalian ekspor yang terkait dengan bahan-bahan pembuatan semikonduktor," kata Ahn. "Jadi kami memiliki pengalaman dan sedang menerapkan tindakan-tindakan tersebut — mekanisme manajemen rantai pasokan."
Sengketa antara Jepang dan Korea Selatan berakhir setelah pemimpin-pemimpin mereka mengadakan pertemuan tingkat tinggi di Tokyo awal tahun ini. Mereka berjanji untuk meningkatkan kerja sama dalam bidang teknologi.
(bbn)