Pertashop sendiri merupakan distributor resmi BBM dan produk ritel nonsubsidi dari Pertamina Group. Adanya Pertashop ditujukan untuk mendekatkan produk energi ke konsumen akhir di perdesaan, yang selama ini belum terjangkau akses langsung ke lembaga penyalur resmi Pertamina.
Namun, SPBU Mini tersebut hanya diperbolehkan untuk menjual produk Petamina nonsubsidi, mulai dari Pertamax, LPG 12 kg, Bright Gas, dan produk ritel Pertamina lainnya.
Belum lama ini, para pengusaha Pertashop pun sempat melaporkan kerugian parah, seiring dengan makin tingginya disparitas harga antara Pertamax dan BBM bersubsidi jenis Pertalite.
Ketua Umum Perhimpunan Pertashop Merah Putih Indonesia H. Abdul Salam dan Ketua Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Gunadi Broto Sudarmo, dalam pernyataan bersamanya, mengatakan saat ini kian banyak pengusaha Pertashop di Indonesia yang gulung tikar di tengah margin yang terus melorot.
Akibat disparitas harga yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite —yang kini dijual Rp10.000/liter, dan Pertamax Rp16.000/liter— omzet Pertashop anjlok hingga 90% dan usaha tersebut diklaim tidak lagi menguntungkan.
“Akibat disparitas harga [yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite], nilai atau jumlah Pertashop dengan omzet kurang dari 200 liter per hari mencapai 47% [dari total gerai Pertashop di Indonesia],” tutur Gunadi saat RDP Bersama Komisi VII DPR, awal Juli lalu.
Dengan omzet hanya 200 liter per hari, laba kotor yang didapatkan per gerai Pertashop saat ini diklaim hanya Rp5,1 juta per bulan. Nilai tersebut belum termasuk beban gaji untuk dua operator minimal Rp4 juta per bulan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta potensi losses sebesar 1%x6.000 liter per bulan.
(ibn/wdh)