Ekonomi Negeri Paman Sam masih kuat meski suku bunga acuan sudah naik berkali-kali. Klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 14 Oktober tercatat turun 13.000 menjadi 198.000, terendah sejak Januari.
Perkembangan ini membuat pasar memperkirakan bahwa bank sentral Federal Reserve belum selesai dalam menaikkan suku bunga acuan. Setelah sekali kenaikan pada tahun ini, Federal Funds Rate akan bertahan di level tinggi untuk waktu yang lama (higher for longer).
Faktor ini yang kemudian membuat dolar AS begitu kuat. Akibatnya, mata uang negara-negara lain sulit berbuat banyak, tidak terkecuali rupiah.
Bunga Acuan Naik
Kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin (bps) menjadi 6%. Keputusan ini di luar ekspektasi pasar.
“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptif dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024,” kata Perry dalam konferensi pers usai RDG.
Namun sepertinya kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate belum cukup ampuh untuk menyehatkan rupiah, setidaknya sampai saat ini. Di pasar Non-Deliverable Forwards, terpantau risiko pelemahan rupiah masih terbuka.
Pada pukul 09:19 WIB, kurs rupiah di pasar NDF untuk tenor 1 pekan ada di Rp 15.833/US$. Untuk tenor 1 bulan tercatat Rp 15.843/US$.
Kurs di pasar NDF kerap kali mempengaruhi dinamika di pasar spot.
(aji)