Sebaliknya, untuk keperluan produksi baterai kendaraan listrik, jenis yang dibutuhkan adalah nikel kadar rendah (limonite) yang diproses lewat smelter berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) atau berbasis hidrometalurgi.
Adapun, pemurnian berbasis pirometalurgi adalah proses memisahkan bijih dan logam dengan pemanasan suhu tinggi. Sebaliknya, hidrometalurgi dilakukan dengan teknik reagen pelarut (solvent) pada suhu lebih rendah.
Irwandy menegaskan pemerintah akan mengkaji secara holistik kebijakan larangan smelter baru, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik untuk limonite maupun saprolite.
Saat ini, kata Irwandy, terdapat 44 smelter yang mengolah nikel menjadi baja nirkarat malalui proses pirometalurgi. Adapun, proses hidrometalurgi ke arah baterai hanya diakomodasi oleh 3 smelter HPAL.
Konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi dengan saprolite adalah sebesar 210 juta ton per tahun dan limonite sebesar 23,5 juta ton per tahun, sambungnya.
Saat ini, terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sementara itu, untuk arah proses baterai hidrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.
Pada tahap perencanaan ke arah pirometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hidrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun.
"Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 smelter yang terdiri dari 97 smelter pirometalurgi dan 19 smelter ke arah hidrometalurgi," ungkap Irwandy.
Menjaga Harga Nikel
Di sisi lain, Dewan Penasihat Asosiasi Prometindo Arif S Tiammar mendukung langkah Kementerian ESDM yang akan memoratorium pembangunan smelter untuk nikel kelas II, menurutnya itu langkah yang baik untuk membatasi produksi yang berlebihan.
"Sejujurnya saya sendiri sangat mendukung dengan upaya untuk membatasi pembangunan feronikel atau pembangunan proyek yang berbasiskan pirometalurgi yang mengkonsumsi biji nikel saprolite menjadi FeNi ataupun NPI ataupun matte. Sekalipun kita memiliki cadangan yang sangat besar di sisi hidrometalurgi yang bersumberkan dari nikel limonite atau nikel yang kadar rendah," ujar Arif.
Arif mengungkapkan beberapa alasan menyetujui kebijakan moratorium ini. Pertama, untuk membatasi kapasitas produksi yang berlebihan dan menempatkan Indonesia menjadi produsen nickel pig iron (NPI) terbesar di dunia.
"Kapasitas produksi saat ini sudah luar biasa besar, bahkan jumlahnya berdasarkan data 2022 sebesar 9 juta ton NPI dengan kandungan nikel 1,1 juta ton per tahun. Akhirnya menempatkan Indonesa sebagai produsan NPI terbesar dunia. Pembatasan produksi ini menjadi alasan pertama yang saya setuju dengan moratorium atau pembatasan," ungkap Arif.
Kedua, ketahanan cadangan yang dimiliki. Ketiga, keseimbangan suplai dan permintaan yang berdampak pada harga pasar NPI dunia.
"Saya sendiri pelaku. Harga NP atau FeNi sendiri sekarang ini sangat rendah dibandingkan dengan dua tahun depan karena jumlah NPI yang ada luar biasa berlimpah sehingga menyebabkan harga dari NPI itu turun. Itu yang menyebabkan kami sangat setuju dengan upaya moratorium ini," tutup Arif.
(wdh)