Divergensinya juga makin lebar. Amerika Serikat (AS) masih kuat, tetap tahun depan akan melambat. Sementara China sudah melambat.
"Baru 2026 kemungkinan akan stabilised. Jadi 2024 uncertainty masih tinggi dan perekonomian global cenderung melambat," tuturnya.
Faktor kedua, tambah Perry, adalah peningkatan ketegangan geopolitik terutama di Timur Tengah. Ini menyebabkan harga minyak dan harga pangan makin tinggi.
Ketiga, suku bunga di negara maju termasuk AS akan tetap tinggi dalam jangka waktu lama alias higher for longer. "Bahkan kami menakar ada probabilitas 40% Fed Funds Rate akan naik pada Desember,'" kata Perry.
Keempat, perbedaan suku bunga instrumen jangka pendek dan jangka panjang makin pendek. Kelima, terjadi aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Banyak dana pindah ke negara maju dan memperkuat dolar AS. Ini yang kemudian membuat dinamika cepat dari RDG yang lalu dengan sekarang," sebut Perry.
Kenaikan suku bunga acuan, lanjut Perry, juga sebagai langkah preemtif. Dilakukan demi menjangkar ekspektasi inflasi di tengah risiko tingginya harga energi dan pangan global serta dampak kenaikan imported inflation.
"Kita ukur, kita putuskan naik 25 basis poin," ujarnya.
(aji)