Presiden Jokowi memastikan dirinya tak terlibat dalam dinamika uji materiil di MK tersebut. Dia pun menilai, penerapan sistem pemilu menjadi domain dari lembaga legislatif yang berisi para anggota partai politik.
"Enggak-enggak (terlibat). Itu urusan partai. Saya bukan ketua partai," kata Jokowi.
Terbuka vs Tertutup
Masyarakat Indonesia menjalani Pemilu dengan sistem proporsional tertutup sejak Pemerintahan Orde Baru hingga Pemilu 2004. Pada mekanisme ini, setiap pemilih hanya perlu mencoblos logo atau gambar partai politik pada kertas suara.
Akumulasi hasil perolehan suara akan menentukan tiap partai politik mendapat berapa jatah kursi di lembaga legislatif tingkat kota, kabupaten, provinsi, dan pusat. Parpol kemudian menunjuk sejumlah kadernya, sesuai jatah kursi, untuk menjadi anggota legislatif.
Enggak-enggak [terlibat sistem pemilu]. Itu urusan partai. Saya bukan ketua partai
Presiden Joko Widodo
Pada sistem ini, pemilih tak mengetahui sosok kader yang akan dipilih Parpol. Konstituen belum tentu memiliki kedekatan relasi dengan calonnya di legislatif. Dalam beberapa kasus, kader yang dipilih parpol juga belum tentu berasal dari wilayah pemilihan tersebut.
Pemilu dengan sistem proposional terbuka mulai diterapkan pada Pemilu 2009. Ini adalah buah dari uji materi terhadap UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu.
Saat itu, MK setuju terhadap pemohon agar pemilihan diterapkan secara terbuka. Pemilih mencoblos langsung nama atau foto kader Parpol yang diinginkannya melenggang ke kursi legislatif.
Para calon kemudian berupaya memiliki relasi kedekatan dengan pemilih agar bisa lolos. Para pemilih pun merasa kenal dengan wakil mereka di DPRD atau DPR.
Hal ini juga yang menyebabkan tak jarang kader-kader yang berada di urutan atas pada tiap kertas suara justru gagal. Masyarakat lebih memilih calon yang dikenal meski berada di urutan bawah kertas suara.
(frg/wep)