Logo Bloomberg Technoz

Untuk diketahui, smelter RKEF menghasilkan feronikel sebagai bahan baku komoditas besi dan baja nirkarat. Smelter nikel RKEF membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolite) sebagai bahan bakunya.  

Sebaliknya, untuk keperluan produksi baterai kendaraan listrik, jenis yang dibutuhkan adalah nikel kadar rendah (limonite) yang diproses lewat smelter berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) atau berbasis hidrometalurgi.  

Sekadar catatan, pemurnian berbasis pirometalurgi adalah proses memisahkan bijih (ore) dan logam dengan pemanasan suhu tinggi. Sebaliknya, hidrometalurgi dilakukan dengan teknik reagen pelarut (solvent) pada suhu lebih rendah.

Saat ini, jumlah smelter RKEF di Indonesia dinilai sudah terlalu banyak, melebihi 140 unit dengan kemampuan produksi mencapai 130 juta metrik ton per tahun. Angka tersebut tidak sebanding dengan volume produksi tahunan tambang bijih nikel yang tak lebih dari 100 juta metrik ton, menurut catatan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI). 

Di sisi lain, Kementerian ESDM memperkirakan potensi sumber daya nikel Indonesia yang belum tereksplorasi mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam.

Sumber pasok nikel dunia./dok. Bloomberg


Di luar cadangan yang sudah terpetakan, Indonesia memiliki potensi kandungan nikel di wilayah yang belum terksplorasi atau greenfield yang tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Berdasarkan Booklet Tambang Nikel 2020, sebanyak 77% wilayah potensi nikel di Sulawesi Tenggara belum memiliki wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dengan  potensi cadangan 2,6 miliar ton.

Sementara itu, 43% wilayah potensi di Maluku juga belum memiliki WIUP dengan cadangan 1,4 miliar ton. Adapun, Papua diklaim memiliki potensi cadangan 0,06 miliar ton dengan wilayah potensi pembawa mineralisasi belum memiliki WIUP sebesar 98%.

Secara agregat, Irwandy menyebut cadangan nikel Indonesia juga masih tetap menjadi yang terbesar di dunia dengan porsi 23% dari total cadangan dunia, yang terdiri dari 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta  ton logam.

“Kalau kita lihat, sekarang cadangan 5,2 miliar ton ya kira-kira hampir sama jumlahnya antara yang saprolite dengan limonite. Kamudian sumber dayanya sekitar 17 miliar ton. Nah, sumber daya inilah yang harus kita alihkan menjadi cadangan dan diperlukan upaya eksplorasi detail,” ujarnya.

Menurut catatan Kementerian ESDM, produksi nikel kelas 2 seperti NPI dan feronikel di Indonesia diperkirakan mencapai 6—11 tahun, sedangkan nikel kelas 1 untuk baterai antara 25—112 tahun.

"Jadi sebenarnya umur [nikel] tadi dan jumlah cadangan dan sumber daya akan bertambah kalau tingkat eksplorasi ini kita giatkan. Nah, tentu diperlukan investasi yang tidak sedikit. Ini yang perlu diupayakan untuk meningkatkan cadangan yang ada," lanjut Irwandy.

Menteri ESDN Arifin Tasrif sebelumnya mengingatkan agar pabrikan baterai kendaraan listrik di Indonesia tidak boros menggunakan cadangan nikel di dalam negeri, meski saat ini jumlahnya masih dalam batas aman.

“Jadi kalau pemakaian produksi setahun, kan dibagi antara limonite dan saprolite. Kita rata-ratakan saja, kalau [cadangan] 5 miliar ton ini, kalau dengan kapasitas [pengolahan] yang sama, [masih cukup untuk] 15 tahun. Namun, kalau bisa kembangkan potensi yang ada, cadangan kita bisa lebih panjang,” ujarnya ditemui di kantornya, medio September.

Selama potensi nikel di dalam negeri belum tereksplorasi maksimal, Arifin mengingatkan agar penggunaan cadangan eksisting tidak dihambur-hamburkan agar tidak habis dalam 15 tahun ke depan.

“Nah, ke depan kan industri baja ini bisa ada industri recycle, bisa top up [cadangan nikel] sehingga makin panjang lah. Cuma kita jangan boros,” tegasnya.

(wdh)

No more pages