IAEA kemarin menyebut akan berdiskusi dengan Iran dan akan melakukan verifikasi, seperti cuitan Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi.
Perkembangan ini muncul setelah Iran terisolasi dari negara-negara Barat dan pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir mandek. Iran juga tengah mendapatkan kecaman internasional karena represi terhadap aksi demonstrasi. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa pun mengetatkan sanksi kepada Teheran karena dukungan militernya terhadap Rusia dalam perang di Ukraina.
Kemarin, Israel menuding Iran berada di balik serangan terhadap tanker minyak di Laut Arab pada 10 Februari lalu. Insiden ini terjadi sekira 2 pekan setelah serangan pesawat nir-awak (drone) di gudang senjata di dekat Kota Istifhan, yang menurut Iran dilakukan oleh Israel.
IAEA tengah bersiap menyusun laporan kuartalan untuk Iran yang akan dibawa ke rapat dewan gubernur di Wina (Austria) 6 Maret mendatang. Dalam rapat tersebut, aktivitas nuklir Iran akan sangat mendominasi.
Iran belum menyerahkan dokumen yang menjelaskan maksud mereka melakukan pengayaan uranium di 2 fasilitas dekat Kota Natanz dan Fordow, ungkap seorang diplomat. Bahkan jika ternyata pengayaan uranium terakumulasi secara tidak sengaja, tetap saja itu berbahaya, tegas diplomat lainnya.
IAEA berulang kali menegaskan bahwa bahkan di level 60% pun secara teknis tidak bisa dibedakan dengan tingkat yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir. Kebanyakan reaktor nuklir menggunakan material uranium dengan pengayaan 5%.
Kala masa pemerintahan Presiden Donald Trump, AS menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran pada 2018 dan kembali memberlakukan sanksi kepada negara tersebut. Sebagai balasan, Iran melanjutkan program nuklir mereka. Iran membantah sedang membangun hulu ledak senjata nuklir.
Grossi menyebut kesepakatan tenaga atom dengan Iran sebagai “cangkang kosong” dan Iran punya material nuklir yang memadai untuk membuat beberapa senjata, kalau ada kemauan politik ke sana.