Namun, melalui PMK No. 71/2023, eksportir konsentrat mineral logam tetiba diganjar besaran BK yang lebih tinggi berdasarkan progres pembangunan smelter-nya.
Dalam kasus Freeport, perusahaan kini harus membayar pajak ekspor setidaknya 7,5% dengan asumsi progres pabrik katoda tembaganya di Manyar, Gresik telah mencapai di atas 70%.
Belakangan, Freeport kembali menyatakan masih membutuhkan perpanjangan ekspor konsentrat tembaga melewati tenggat larangan ekspor yang dikehendaki pemerintah, yaitu pada Mei 2024. Penyebabnya, smelter katoda di Manyar baru bisa berproduksi dengan kapasitas penuh pada akhir tahun depan.
“Smelter PTFI masih dalam proses ramp up produksi hingga Desember 2024 untuk mencapai kapasitas produksi maksimal, sehingga masih diperlukan izin ekspor konsentrat tembaga setelah Mei 2024,” ujar Katri saat dihubungi akhir pekan lalu.
Permasalahannya, ketentuan BK yang tertuang dalam PMK No. 71/2023 hanya terbagi ke dalam dua fase periode. Pertama, periode 2023. Kedua, periode Januari—Mei 2024.
Dengan demikian, jika relaksasi ekspor diberikan kepada Freeport selepas Mei 2024, PMK yang mengatur pajak ekspor konsentrat tembaga itu pun harus kembali direvisi.
Sampai dengan berita ini diturunkan, perwakilan Kementerian Keuangan tidak memberikan respons atas permintaan konfirmasi dari Bloomberg Technoz, terkait dengan kemungkinan revisi aturan bea keluar tersebut.
Akan tetapi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Fabrio Nathan Kacaribu sebelumnya menegaskan pemerintah akan tetap memberlakukan bea keluar ekspor konsentrat tembaga, kendati kebijakan tersebut ditentang oleh PT Freeport Indonesia.
“Apa yang sudah ada sekarang ikuti saja. Regulasi tersebut belaku tetap dan tidak ada perubahan, ini sejalan dengan arahan pemerintah untuk mendorong hilirisasi mineral,” kata Febrio di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, medio Agustus.
(wdh)
