Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai pemerintah harus adil dalam melaksanakan program penghiliran sektor pertambangan mineral, termasuk dalam hal pelarangan ekspor konsentrat tembaga buatan PT Freeport Indonesia (PTFI) selepas Mei 2024. 

Chairman Perhapi Rizal Kasli mengatakan konsentrat tembaga sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai ‘barang mentah’, meski larangan ekspor terhadap produk tersebut akan menjadi pertaruhan konsistensi pemerintah dalam program penghiliran sektor pertambangan. 

Apalagi, pada tahun ini pemerintah sudah sempat memberikan relaksasi kepada Freeport untuk tetap boleh mengekspor konsentrat tembaga hingga smelter katoda di Manyar, Gresik siap beroperasi pada Mei 2024. Konsentrat tembaga, padahal, seharusnya sudah dilarang ekspor sejak 11 Juni 2023.

“[Komoditas mineral] yang lain harusnya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Hanya ada beberapa komoditas yang memang sudah dilarang ekspor, seperti nikel dan bauksit. Bedanya, nikel dan bauksit adalah masih dalam bentuk bijih yang diekspor, dan itu sudah dilarang ekspor karena bahan mentah yang belum diolah. Kalau konsentrat [tembaga] itu sudah melalui proses pengolahan sehingga menjadi konsentrat,” ujarnya, Selasa (17/10/2023).

Rizal berpendapat Freeport Indonesia sebenarnya sudah cukup serius untuk menyelesaikan proyek smelter katoda tembaganya di Manyar tepat waktu atau sesuai janji pada awal 2024, jika mempertimbangkan progres konstruksinya yang sudah di atas 75% saat ini.

Namun, lanjutnya, jika sekarang PTFI tiba-tiba kembali meminta pelonggaran ekspor konsentrat tembaga dengan alasan smelter Manyar belum siap memproduksi katoda dengan kapasitas penuh sebelum Desember 2024; maka pemerintah perlu melakukan audit.

“Permintaan relaksasi tentu saja [bisa] diberikan, dengan syarat dan berdasarkan hasil audit terhadap progres kemajuan pembangunan smelter tersebut. Menurut kami, [permintaan relaksasi tambahan] ini murni karena memang ada keterlambatan progres konstruksi saja. Apalagi, pemerintah juga mengenakan [kenaikan] bea keluar untuk konsentrat yang diekspor oleh Freeport,” tuturnya.

Menurutnya, kenaikan bea keluar konsentrat tersebut juga menjadi faktor pendorong tersendiri bagi Freeport untuk dapat segera menuntaskan proyek smelter-nya agar bisa terhindar dari pengenaan pajak ekspor tersebut.

Sekadar catatan, aturan bea keluar yang dimaksud tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 71/2023 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK No. 39/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Mengacu pada regulasi itu, pemerintah mensyaratkan PTFI harus membayar bea keluar sebesar 7,5% jika proyek smelter Gresik itu tidak mencapai 70%—90% hingga akhir tahun ini.

Di sisi lain, PTFI merasa perusahaan seharusnya dibebaskan dari pajak ekspor hingga 2041, sebagaimana disepakati dalam izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang diteken pada 2018.

Sebelumnya, Vice President Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati menjelaskan pabrik pengolahan katoda tembaga PTFI di Manyar, Gresik, Jawa Timur baru akan sanggup mencapai produksi maksimal pada akhir tahun depan.

Dengan demikian, Freeport mengeklaim masih memerlukan waktu sebelum bisa benar-benar menyetop ekspor konsentrat tembaga, hingga smelter Manyar dapat memproduksi katoda dengan kapasitas penuh.

Smelter PTFI masih dalam proses ramp up produksi hingga Desember 2024 untuk mencapai kapasitas produksi maksimal, sehingga masih diperlukan izin ekspor konsentrat tembaga setelah Mei 2024,” ujarnya saat dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz, akhir pekan lalu.

Adapun, total investasi smelter Manyar hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai US$2,7 miliar atau sebanding dengan Rp42,45 triliun, asumsi kurs saat ini. Smelter itu dirancang dengan kapasitas pengolahan untuk sekitar 1,7 juta ton konsentrat menjadi kurang lebih 600.000 ton katoda tembaga per tahun.

(wdh)

No more pages