Ancaman pencopotan bergaung di tengah masih adanya momok inflasi harga beras yang diperkirakan belum akan jinak sampai tahun depan akibat El Nino dan pasokan global yang masih ketat, seiring langkah negara produsen beras membatasi ekspor. Harga beras di Indonesia sudah terbang 18,5% pada September, tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Indonesia mengalokasikan lebih dari Rp1.631 triliun anggaran khusus untuk pengendalian inflasi selama periode 2020-2023. Alokasi anggaran inflasi naik tajam pada 2022, menembus Rp640,1 triliun dari sebesar Rp273 triliun tahun sebelumnya.
Sementara untuk 2023 alokasi anggaran pengendalian inflasi ditetapkan sebesar Rp443,8 triliun.
Anggaran pengendalian inflasi itu mewujud dalam berbagai bentuk belanja. Mulai belanja wajib perlindungan sosial (bansos, subsidi sektor transportasi angkutan umum daerah), penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 Tahun 2022 tentang Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.
Daerah yang dianggap berhasil mengendalikan tingkat inflasi akan mendapatkan apresiasi. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah mengalokasikan hadiah insentif khusus total Rp1 triliun tahun ini bagi daerah-daerah yag dianggap cakap mengendalikan tekanan harga, di mana setiap kuartal disiapkan sebesar Rp330 miliar.
Indonesia membutuhkan strategi pengendalian inflasi yang lebih struktural agar bisa menjawab tantangan jangka menengah serta panjang.
"Pengendalian inflasi melalui bantuan sosial juga subsidi, itu solusi jangka pendek saja. Perlu dikombinasi strategi jangka menengah dan panjang yang sejauh ini belum terlihat," kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual, Selasa (17/10/2023).
Pemicu inflasi di Indonesia tidak jauh-jauh berkutat dari pasokan beras, lalu komoditas volatile foods seperti cabai-cabaian, bawang, juga harga bahan bakar minyak (BBM). Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, menurut ekonom, tidak terlihat ada upaya membangun solusi yang lebih struktural dalam menyelesaikan faktor-faktor pemicu inflasi tersebut.
Pemerintah RI di bawah Presiden Joko Widodo berupaya mengatasi isu pasokan pangan melalui program yang dikenal dengan "food estate". Alokasi anggaran program itu mencapai Rp108,8 triliun tahun depan di tengah hujan kritik yang menilai program itu gagal total.
Ribuan hektar lahan sudah dibabat, semula diperuntukkan untuk ditanami berbagai bahan pangan penting. Akan tetapi, berakhir mubazir.
Indonesia masih menjadi importir untuk komoditas-komoditas yang sejatinya sangat strategis mulai dari beras, bawang, jagung hingga kedelai. Belum termasuk impor BBM yang jauh lebih besar dampaknya pada inflasi bila ada lonjakan harga minyak global.
"Belum terlihat ada solusi mengatasi inflasi secara struktural untuk jangka menengah dan panjang"
David Sumual, Kepala Ekonom BCA
Ekonom menyarankan, Indonesia bisa mencontoh langkah negara-negara maju yang mengendalikan inflasi dengan menggarap sisi hulu, yakni pasokannya. Amerika Serikat, melalui Inflation Reduction Act, memberikan banyak insentif bagi industri-industri yang meningkatkan produksi barang impor berharga mahal seperti semikonduktor.
"Dengan memperbanyak pasokan di dalam negeri, harga otomatis turun dan inflasi bisa ditekan," jelas David.
Meski kini Negeri Paman Sam itu masih berjibaku menaklukkan inflasi akibat pasar tenaga kerja yang ketat, apa yang sudah diinisiasi Amerika bisa dilihat sebagai contoh upaya mengatasi masalah hulu inflasi yakni pasokan. Inflasi terpicu bila pasokan lebih kecil ketimbang permintaan.
Selain itu, ada isu data yang lemah juga masih menjadi momok di Indonesia. "Data kita perlu dibereskan, supaya terlihat apakah kita kelebihan pasokan atau kekurangan, daerah mana yang surplus mana yang kurang, dan sebagainya. Dari sini saja belum dibereskan," kata David.
Ada 'missing link' dari keseluruhan strategi pengamanan pasokan dalam negeri kala dalam jangka waktu sekian tahun Indonesia yang dulu pernah menjadi eksportir beberapa komoditas strategis, kini justru menjadi importir. Impor bawang juga semakin besar dari tahun ke tahun.
"Pemerintah juga penting mempelajari perubahan perilaku masyarakat di mana taraf hidup makin naik, selera pangan juga bergeser mungkin lebih banyak ke tepung-tepungan yang sejauh ini banyak impor," jelas David seraya menambahkan antisipasi dari kenaikan permintaan menyusul perubahan diet masyarakat perlu dipikirkan.
Inflasi Indonesia pada September berada di kisaran 2,28% sudah cukup rendah dan di mendekati level bawah target bank sentral 2%-4% untuk 2023. Sementara harga beras yang memiliki andil 0,55% pada inflasi diprediksi masih akan naik di tengah defisit produksi sampai akhir tahun.
Selain beras, ada gula dan cabai rawit yang juga menjadi ancaman lonjakan harga konsumen.
(rui/aji)