Hal ini juga menjadi isu yang makin politis, karena pemerintah negara-negara dunia berupaya untuk melonggarkan peraturan perencanaan, sementara beberapa komunitas lokal menolak untuk melakukan lebih banyak pembangunan.
“Kemajuan yang dicapai saat ini dalam bidang energi ramah lingkungan dapat berada dalam bahaya jika pemerintah dan dunia usaha tidak bersatu untuk memastikan jaringan listrik dunia siap menghadapi ekonomi energi global baru yang sedang berkembang pesat,” kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol.
Melakukan hal ini tidaklah murah, karena pemerintah dan perusahaan menghadapi biaya pinjaman yang tinggi untuk membiayai rencana infrastruktur yang besar.
Investasi tahunan di bidang jaringan listrik mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir tetapi perlu mencapai US$600 miliar pada 2030, menurut laporan IEA bertajuk Electricity Grids and Secure Energy Transitions itu.
Meskipun begitu banyak perhatian dan dana telah dicurahkan untuk energi bersih, masih belum jelas apakah jaringan listrik siap menangani aset-aset baru tersebut.
Setidaknya 3.000 gigawatt proyek pembangkit listrik terbarukan – hampir 30 kali lipat kapasitas pembangkit listrik di Inggris – sedang menunggu sambungan, kata IEA.
“Belanja anggaran Eropa untuk jaringan listrik tertinggal dari investasi energi terbarukan dan harus berlipat ganda dari tingkat saat ini agar dapat mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050,” jelas analis BloombergNEF Felicia Aminoff.
Di sisi lain, tidak ada jaminan bahwa negara-negara termiskin dapat melakukan investasi yang diperlukan. China telah mengembangkan jaringan transmisinya dengan pesat dan menyumbang lebih dari sepertiga perluasan jaringan transmisi global dalam satu dekade terakhir, menurut laporan IEA.
Jika Chinaidak disertakan, laju ekspansi di negara-negara berkembang telah menurun rata-rata tahunan sebesar 7% dalam lima tahun terakhir.
(bbn)