Total investasi smelter Manyar hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai US$2,7 miliar atau sebanding dengan Rp42,45 triliun, asumsi kurs saat ini. Smelter itu dirancang dengan kapasitas pengolahan untuk sekitar 1,7 juta ton konsentrat menjadi kurang lebih 600.000 ton katoda tembaga per tahun.
“Menurut saya, kali ini Presiden Jokowi harus tegas dan punya nyali untuk tidak mengizinkan relaksasi lagi, apapun alasannya. Mau stok konsentrat menumpuk kek, mau ancaman PHK kek, mau menutup produksi kek, mau mengurangi pendapatan untuk pemerintah daerah kek, itu terserah dia [Freeport]. Dan saya mencatat juga, dia itu hanya gertak sambal. Sejak zaman Presiden SBY itu sama kelakuannya,” tegasnya.
Freeport Indonesia sebelumnya menyatakan masih membutuhkan perpanjangan ekspor konsentrat tembaga melewati tenggat larangan ekspor yang dikehendaki pemerintah, yaitu pada Mei 2024. Penyebabnya, smelter katoda di Manyar baru bisa berproduksi dengan kapasitas penuh pada akhir tahun depan.
“Smelter PTFI masih dalam proses ramp up produksi hingga Desember 2024 untuk mencapai kapasitas produksi maksimal, sehingga masih diperlukan izin ekspor konsentrat tembaga setelah Mei 2024,” ujar Vice President Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati kepada Bloomberg Technoz, akhir pekan.
Pengaruhi Saham FCX
Pada perkembangan lain, Fahmy pun tidak yakin Freeport benar-benar akan menyetop produksi atau melakukan PHK besar jika permintaan relaksasi ekspor konsentratnya tidak dikabulkan. Penyebabnya, 49% saham PTFI masih dimiliki oleh Freeport-McMoRan Inc. (FCX) di Amerika Serikat (AS).
FCX adalah perusahaan terbuka di bursa saham AS. Dengan demikian, jika PTFI menghentikan produksinya di Indonesia, harga saham FCX pun berisiko anjlok, bahkan – menurut Fahmy – sampai ke titik nadir, sehingga ancaman tersebut mustahil dilakukan.
“Jadi, jangan mau dipermainkan lalu memberi izin lagi. Nanti terus-terusan, dan ini akan menjadi diskriminatif bagi industri pertambangan mineral lain. Maka, program hilirisasi Jokowi itu akan porak-poranda hanya karena pemerintah memberi keleluasaan pada Freeport. [Perusahaan] yang lain juga pasti akan menuntut hal yang sama. Kalau itu terjadi, maka program hilirisasi, yang sangat dibanggakan Jokowi, itu hanya ada di atas kertas, tidak akan tercapai,” ujarnya.
Pada April tahun ini, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melunak dalam menerapkan tenggat larangan ekspor konsentrat tembaga yang sedianya diberlakukan per 11 Juni 2023.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo akhirnya membolehkan PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara untuk tetap mengekspor konsentrat tembaga hingga pertengahan 2024, setelah perusahaan berdalih smelter baru belum siap beroperasi pada 2023 gegara progresnya terhambat pandemi Covid-19.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan progres pembangunan smelter Manyar saat ini sudah mendekati 90%, dan diharapkan rampung pada Desember tahun ini.
“Dia [smelter] ini kan selesai Desember, yang mana [merupakan] ekspansi [smelter] eksisting. Dengan itu, nanti volume [produksi]-nya memang disesuaikan. Nah kalau [soal larangan ekspor konsentrat] 2024, ya kita belum lepas dari aturan,” ujarnya saat ditemui, Jumat pekan lalu.
(wdh)