“Mereka akan selalu mengancam; kalau tidak diberikan relaksasi ekspor, nanti akan menutup produksinya, kemudian akan melakukan PHK [pemutusan hubungan kerja] karyawannya, akan mengadukan ke Mahkamah Internasional. Itu dia seperti itu kelakuannya. Nah, sekarang tinggal pemerintah berani apa enggak?” kata Fahmy.
Timbulkan Diskriminasi
Lebih lanjut, Fahmy berpendapat jika pemerintah mengabulkan keinginan Freeport untuk memundurkan tenggat larangan ekspor konsentrat tembaga tahun depan, pengusaha sektor pertambangan mineral lainnya akan merasa terdiskriminasi.
“Kalau [relaksasi] ini diberikan terus, misalnya diberikan perpanjangan ekspor lagi, ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap hasil tambang lainnya yang sudah dilarang ekspor [sesuai tenggat], seperti nikel, timah, dan sebagainya. Itu kan tanpa ampun [pemberlakuan larangan ekspornya],” ujarnya.
Walhasil, kata Fahmy, tidak tertutup kemungkinan perusahaan sektor pertambangan mineral lain juga akan menuntut perlakuan yang sama, yaitu diberikan keistimewaan untuk menunda larangan ekspor komoditas yang kurang bernilai tambah.
“Kalau kemudian semuanya menuntut, dan pemerintah lemah lalu dikasih semua, maka program Jokowi soal hilirisasi di segala bidang itu tidak ada artinya. Hanya omong doang, karena ternyata pemerintah tidak tegas,” tuturnya.
“Jadi, menurut saya, Jokowi harus membuktikan bahwa dia pemimpin yang punya nyali, punya keberanian ‘melawan’ Freeport, apa pun risikonya tadi. Maka, jangan lagi diberikan izin untuk relaksasi ekspor konsentrat tembaga itu.”
Freeport Indonesia baru-baru ini menyatakan masih membutuhkan perpanjangan ekspor konsentrat tembaga melewati tenggat larangan ekspor yang dikehendaki pemerintah, yaitu pada Mei 2024.
Alasannya, proyek smelter Gresik belum sanggup memproduksi katoda tembaga dengan kapasitas maksimal, meski fisiknya telah selesai dibangun tepat waktu. Perusahaan pun ingin memaksimalkan pendapatan dengan tetap diizinkan mengekspor konsentrat yang belum sanggup diolah menjadi katoda.
“Smelter PTFI masih dalam proses ramp up produksi hingga Desember 2024 untuk mencapai kapasitas produksi maksimal, sehingga masih diperlukan izin ekspor konsentrat tembaga setelah Mei 2024,” ujar Vice President Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati kepada Bloomberg Technoz, akhir pekan.
Smelter Manyar merupakan fasilitas pemurnian dan pengolahan konsentrat tembaga kedua milik PTFI yang tengah dibangun di Kawasan Java Integrated Industrial Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur dengan luas total sekitar 100 hektare (ha).
Total investasi smelter Manyar hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai US$2,7 miliar atau setara Rp42,45 triliun asumsi kurs saat ini. Smelter itu dirancang dengan kapasitas pengolahan untuk sekitar 1,7 juta ton konsentrat menjadi kurang lebih 600.000 ton katoda tembaga per tahun.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, progres smelter tersebut saat ini telah mendekati 90% dan ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Dia pun tidak mengonfirmasi atau membantah saat ditanya ihwal permintaan relaksasi ekspor konsentrat dari Freeport.
“Boleh saja minta [perpanjangan izin ekspor konsentrat. Namun, permohonannya] belum sampai [ke Kementerian ESDM],” ujarnya saat ditemui di kantornya, Jumat (13/10/2023).
Untuk diketahui, pada April tahun ini, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melunak dan melonggarkan tenggat larangan ekspor konsentrat tembaga yang sedianya diberlakukan per 11 Juni 2023.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo akhirnya membolehkan PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara untuk tetap mengekspor konsentrat tembaga hingga pertengahan 2024, setelah perusahaan berdalih smelter baru belum siap beroperasi pada 2023 gegara progresnya terhambat pandemi Covid-19.
(wdh)