Dia mengatakan, meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun peraturan Mahkamah Konstitusi namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
"Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK. Oleh karena itu pada kesempatan ini pula saya mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan," kata Arief lagi.
Kedua, terdapat keanehan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Awalnya kata dia, Ketua MK Anwar Usman di RPH pada perkara lain dengan gugatan sama tak hadir dengan alasan konflik kepentingan. Diketahui Anwar merupakan adik ipar Presiden Jokowi. Namun ketika RPH membahas gugatan yang diajukan mahasiswa UNSA itu Ketua MK Anwar Usman malah hadir.
"Pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama yaitu berkaitan dengan syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden, ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar dikabulkan sebagian," ujar dia.
"Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023," imbuhnya.
Pada saat itu kata dia, Anwar malah mengaku tak hadir di RPH sebelumnya karena alasan kesehatan bukan karena menghindari konflik kepentingan.
Ketiga, dua perkara yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 sempat ditarik tetapi tetap dilanjutkan.
Perkara 90/PUU-XXI/2023 dan perkara 91/PUU-XXI/2023 diajukan oleh pemohon yang berbeda namun dikuasakan pada kuasa hukum yang sama.
Kuasa hukum pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023 dan perkara 91/PUU-XXI/2023 kemudian telah mencabut atau menarik permohonannya melalui surat bertanggal 26 September 2023 perihal “Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 Mengenai Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (q) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang Undang Dasar 1945” dan surat dimaksud telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 29 September 2023 pukul 14.32 WIB. Akan tetapi pada keesokan harinya, Sabtu, 30 September 2023, mereka membatalkan pencabutan.
"Dalam rangka memastikan kebenaran ihwal pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara a quo, Mahkamah mengagendakan persidangan pada hari Senin, 3 Oktober 2023 guna melakukan konfirmasi berkaitan dengan hal dimaksud," tambah Arief.
Namun menurut Arief, alasan pemohon membatalkan penarikan gugatan juga tak lazim dan dilakukan pada hari Sabtu yang seharusnya libur jadwal administrasi.
Selain itu dia menilai bahwa pola dan keterangan yang disampaikan kuasa hukum dan pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 (Almas Tsaqibbiru Re A) juga sama dengan pola dan keterangan yang disampaikan kuasa hukum dan pemohon perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 (Arkaan Wahyu Re A) meskipun waktu persidangan untuk melakukan konfirmasi pencabutan atau penarikan permohonan dijadwalkan berbeda.
Penarikan gugatan dan kemudian pembatalan kata dia jelas dilakukan tidak profesional dan seharusnya MK menolak pembatalan penarikan. Namun gugatan itu kembali masuk. Diketahui perkara nomor 90 maupun perkara nomor 91 diajukan mahasiswa. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan mahasiswa UNSA Almas Tsaqibbiru sementara perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 diajukan mahasiswa UNS bernama Arkaan Wahyu Re A.
"Menimbang bahwa berdasarkan pada keterangan pemohon dan fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut saya, pemohon telah mempermainkan marwah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan," tutupnya.
Diketahui empat hakim yang menolak yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams dan Suhartoyo. Sementara hakim yang mengabulkan yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah dan dua orang lagi mengabulkan dengan menambahkan opini berbeda (concurring opinion) yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic.
Gugatan yang dikabulkan sebagian ini berimplikasi setiap yang berusia di bawah 40 tahun bisa maju di pilpres asalkan berpengalaman menjadi pejabat yang pernah dipilih (official elected). Hal ini menjadi tiket Gibran Rakabuming Raka untuk maju karena selama ini Wali Kota Surakarta itu dijagokan jadi bakal cawapres di pilpres.
(ezr)