“Yang sebenarnya yang ini [permohonan dua mahasiswa UNSA],” tegasnya.
MK Kurang Konsisten
Charles selanjutnya menilai MK kurang konsisten dalam konteks legal standing. Ia pun menanti apa yang akan terjadi dua hingga tiga ke depan, apakah bunyi putusan MK berkorelasi dengan peta perpolitikan di Indonesia.
“Kalau memang benar deklarasi itu terjadi, akhirnya kita tidak bisa menyatakan putusan ini bukan putusan yang berdiri sendiri, jadi dalam rangka paket yang sudah ditunggu oleh pasangan capres yang sudah deklarasi,” tutur Charles.
Gugatan memang menjadi perhatian masyarakat. Bahkan MK mendapat sebutan baru dari pengkritiknya dengan sebutan Mahkamah Keluarga. Ejekan ini merujuk pada keberadaan Anwar Usman sebagai ketua MK yang merupakan adik Ipar Jokowi usai menikah dengan adik kandung presiden, Idayati pada Mei 2022.
MK tiba-tiba mengabulkan uji materi Pasal 169 huruf q, meski berulang kali mengatakan batas usia dalam undang-undang adalah open legal policy. Perubahan atau perbaikan terhadap aturan tersebut merupakan kewenangan dari para pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR.
MK menilai para pengaju uji materi lebih baik mengusulkan revisi UU Pemilu kepada eksekutif dan legislatif. “Yang jadi masalah yakni MK yang terjebak dalam konteks bermain politik dalam perkara ini. Jadi kita baru akan mengatakan ini skenario membangun politik dinasti kalau kemudian digunakan untuk pencalonan itu,” kata Charles.
Sebelumnya, MK sudah menolak semua uji materi Pasal 169 huruf q yang meminta revisi batas usia capres-cawapres. Perkara pertama yang ditolak diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mahkamah menolak PSI.
Baca Juga: Alasan Lengkap MK Buat Putusan Berbeda Pada Dua Gugatan Batas Usia
Kedua, MK menolak gugatan Partai Garuda. Partai ini memiliki dasar pertimbangan tokoh yang berusia di bawah 40 tahun bisa tetap menjadi capres atau cawapres dengan syarat pernah menjadi penyelenggara negara.
tercatat dalam perkara nomor 51/PUU-XXI/2023. Dalam perkara tersebut, Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda Yohanna Murtika meminta hakim menambah klausul 'atau berpengalaman sebagai penyelenggara negara' pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Sehingga,
Akan tetapi, menurut Saldi menilai penggunaan frasa penyelenggara negara tak jelas karena sangat beragam. Setidaknya, dia membedakannya menjadi dua yaitu penyelenggara negara yang berasal dari pemungutan suara seperti presiden, wakil presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif. Sedangkan penyelenggara negara lainnya berasal dari pemilihan presiden seperti menteri, dan duta besar; serta pemilihan DPR seperti pimpinan lembaga negara.
Hal ini, menurut Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, membuat pihaknya tidak bisa menggunakan frasa penyelenggara negara sebagai pengecualian untuk meloloskan tokoh muda maju sebagai capres dan cawapres. Demikian pula dengan Perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan dua Kader Partai Gerindra yaitu Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa.
(mfd/wep)