Badan Pusat Statistik hari ini melaporkan, baik ekspor maupun impor Indonesia pada September tercatat turun. Kinerja ekspor melanjutkan penurunan 4 bulan berturut-turut dengan turun 16,71% year-on-year, sementara impor juga melemah 12,45%. Alhasil, surplus neraca dagang masih berlanjut, 41 bulan tanpa putus.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Penurunan impor sejauh ini adalah karena pelemahan impor bahan baku/bahan baku penolong.
Nilai impor golongan barang bahan baku/bahan penolong selama Januari-September 2023, turun 13,32% senilai US 18,4 miliar. Sementara impor barang modal pada periode tersebut masih naik 9,11% senilai US$ 2,4 miliar dan impor barang konsumsi juga tumbuh 7,34% senilai US$ 1,07 miliar.
Pada September lalu, penurunan impor terbesar untuk kelompok nonmigas adalah untuk jenis mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya yang anjlok 18% senilai US$ 401,7 juta.
Impor Minyak Melesat
Kenaikan harga minyak dunia selama September lalu mencemaskan dengan minyak jenis Brent sempat memecah rekor melambung harganya 7,5% menyentuh US$ 94,36 per barel. Minyak jenis WTI bahkan mencatat kenaikan lebih tajam hingga 10,5% selama bulan lalu dan menyentuh level tertinggi di US$ 93,7 per barel.
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah melemah sedikitnya 1,5%. Dua hal itu memicu lonjakan impor migas oleh Indonesia 25% selama September, didorong angka impor minyak mentah yang melambung hingga 94% sebesar US$ 623,1 juta dan impor hasil minyak yang naik 5,87% sebesar US$ 101 juta.
“Di antara mata uang dengan imbal hasil lebih tinggi, kami memiliki sedikit preferensi terhadap peso Filipina dan rupee India dibandingkan rupiah Indonesia,”
HSBC Holdings
Harga minyak saat ini memang sudah lebih landai ketimbang September lalu, terakhir WTI bergerak di kisaran US$ 87 per barel, melanjutkan kenaikan sejak Jumat pekan lalu. Begitu juga minyak jenis Brent siang ini terpantau kembali merangkak ke kisaran US$ 90,9 per barel, setelah mencetak kenaikan harga 20% dalam tiga bulan terakhir.
Eskalasi konflik yang memanas di Timur Tengah membayangi harga minyak lagi di mana bila lanskap konflik meluas hingga ke Iran, si emas hitam bisa langsung melesat terbang lagi. Itu menjadi kabar buruk bagi Indonesia sebagai negara importir minyak sejauh ini.
Bloomberg Economics memperkirakan, minyak Brent bisa melesat hingga menembus US$150 per barel, jika konflik Timur Tengah meluas sampai ke Iran.
“Jika kenaikan harga minyak dunia terus berlanjut dalam waktu lama, kami melihat India, Thailand, Filipina, dan Indonesia lebih rentan terhadap kemerosotan perdagangan,” kata Lavanya Venkateswaran, Ekonom Senior di Oversea-Chinese Banking Corp. Ltd.
Terlebih, bagi negara dengan defisit ganda, yaitu dari transaksi berjalan dan defisit fiskal, akan lebih rentan terhadap arus keluar modal asing. Indonesia rentan karena menanggung risiko defisit transaksi berjalan dan memerlukan pendanaan eksternal untuk itu, menurut analis.
Neraca pembayaran RI pada kuartal II lalu membukukan defisit terbesar sejak awal 2020, dengan nilai hingga US$ 7,4 miliar. Defisit diprediksi masih akan berlangsung pada kuartal III.
Pada kuartal II lalu, defisit NPI akibat terjadi dua defisit bersamaan dari transaksi berjalan (current account) transaksi modal dan finansial (financial account). Defisit current account menembus US$ 1,9 miliar, setara 0,5% dari Produk Domestik Bruto. Sementara defisit transaksi modal dan finansial mencapai US$ 5 miliar, mencapai 1,4% dari PDB, setelah pada kuartal sebelumnya masih mampu mencetak surplus US$ 3,7 miliar.
Pada tengah hari di sesi perdagangan pertama pekan ini, Senin (16/10/2023), harga dolar AS di pasar spot makin perkasa dan membawa nilai rupiah kian melemah di Rp15.718/US$ pada 10:30 WIB.
Pelemahan rupiah bersamaan dengan valuta Asia lain yang sampai siang ini terlihat sebagian dikalahkan the greenback.
Won Korea Selatan masih memimpin pelemahan dengan tergerus 0,2%, sementara rupiah menjadi yang terlemah kedua di Asia dengan kehilangan nilai 0,18%.
Sementara peso Filipina berhasil menguat tipis disusul baht Thailand.
Yield SBN tercatat bergerak variatif, mayoritas melandai meskipun tingkat imbal hasil Amerika terpantau kembali naik siang ini dengan tenor 10 tahun merangkak lagi ke kisaran 4,67%. Menjadikan selisih imbal hasil investasi antara RI dan Amerika kian sempit ke 206 bps, di mana itu akan rentan memicu arus keluar modal asing dari Indonesia.
(rui/aji)