Logo Bloomberg Technoz

“Bank juga harus memberi penanda (flag) pada instrumen dimaksud dan instrumen DPK yang digunakan bank untuk  menempatkannya,” jelas BI dalam penjelasan sebelumnya, 30 Desember 2022.

Instrumen time deposit khusus valas ekspor itu hanya akan tersedia di bank tertentu yang disebut appointed bank. Sekitar 10 bank akan menjadi appointed bank yaitu bank-bank yang memiliki eksposur nasabah eksportir cukup banyak. 

Statemen BI ini menegaskan keseriusan bank sentral untuk menarik devisa hasil ekspor seoptimal mungkin untuk mendukung suplai dolar AS di pasar dalam negeri sekaligus dapat mendukung stabilitas nilai tukar lebih langgeng.

Selama ini, para eksportir lebih senang menempatkan dana hasil ekspor mereka di perbankan Singapura. Alasannya sederhana. Selain pihak counterparty alias buyer memang banyak yang berada di Singapura, tawaran imbal hasil alias rate deposito valas di negeri merlion dinilai lebih menarik. 

Berdasarkan riset Bloomberg Technoz, beberapa bank global yang beroperasi di Singapura, memberikan tawaran bunga deposito valas untuk produk foreign currency time deposit dengan tingkat bunga cukup tinggi. 

Bank global The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) misalnya, menawarkan bunga mulai 2,95% hingga 4,5% untuk penempatan dolar AS mulai US$ 25.000 hingga di atas US$ 1 juta. Tenor yang ditawarkan juga beragam mulai 1 bulan 12 bulan.  

Sedangkan OCBC Singapura menawarkan mulai 3,89% hingga 4,62% untuk deposito dolar AS mulai tenor 1 bulan hingga 12 bulan dengan nilai penempatan dana minimal US$ 49.999.

Bank terbesar Singapura DBS Bank menawarkan bunga mulai 4,04% sampai 4,95% untuk penempatan dolar AS mulai US$ 10.000 hingga di atas US$ 500.000 dengan tenor 1 bulan sampai 12 bulan. 

Adapun di Indonesia, bank-bank besar yang menawarkan deposito valas, tawaran bunganya harus diakui masih kalah dengan Singapura. Contohnya, Bank Mandiri,  bank terbesar di tanah air. Tawaran bunga untuk produk deposito valas cuma berkisar 0,75%-1,75% dengan minimal penempatan mulai US$ 100.000.

Bukan cuma bank nasional yang menawarkan bunga valas minim. Bank global seperti HSBC Indonesia sekalipun, penawaran bunga deposito valasnya lebih rendah ketimbang di Singapura.

Mengutip website resmi bank, HSBC menawarkan bunga mulai 1% hingga 3% saja untuk dana deposito mulai US$ 2.000, tenor 1 bulan sampai 12 bulan. 

Sampai saat ini BI belum mengungkap secara gamblang berapa agent fee yang diberikan pada bank selaku agensi penarik DHE, supaya tawaran bunga valas di perbankan nasional lebih menarik.

Yang pasti, supaya para eksportir tertarik menempatkan dana di perbankan dalam negeri, imbal hasil yang menarik adalah keniscayaan. Di mana ada gula, di situ semut akan datang.

"Gula" nya harus manis

Para eksportir mungkin akan tertarik untuk menempatkan dana hasil ekspor mereka di perbankan nasional bila imbal hasil yang ditawarkan berkisar 5%-6%.

"Ini mengingat potensi bunga The Federal Reserves yang bisa ke level 5,25% pada Maret nanti dan 5,5% pada Mei 2023," kata Macro Strategist Samuel Sekuitas Lionel Priyadi, Jumat sore (17/2/2023).

Sampai kuartal IV-2022 lalu, menurut catatannya, perbankan Singapura menawarkan bunga valas di kisaran 4,5%. Bahkan banyak yang berani menawarkan di atas 5% saat ini.

Dengan selisih bunga valas Indonesia vs Singapura mencapai 300 bps alias 3%, bisa dipahami mengapa sampai saat ini Singapura masih menjadi surga bagi para eksportir memarkir dana. 

Tingkat bunga deposito valas di perbankan relatif rendah juga dipengaruhi oleh tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga rendah, cuma 2% yang berlaku hingga Mei 2023 nanti.

Jadi, bila tawaran return di instrumen valas yang digadang BI nanti kurang menarik, kebijakan DHE belum akan efektif menyokong penguatan rupiah. "Tergantung berapa yang ditawarkan nanti return valas-nya oleh BI. Sulit memaksa eksportir menahan valas mereka di dalam negeri tanpa return sepadan," ujar Lionel.

Agar Rupiah Pede Hadapi The Fed

Indonesia sudah berupaya menarik pulang devisa hasil ekspor sejak era Gubernur BI Darmin Nasution sekira tahun 2012-an silam. Indonesia yang menerapkan rezim devisa bebas sejak 1982 pada akhirnya harus menghadapi volatilitas nilai tukar lebih tinggi karena pasokan dan permintaan dolar AS lebih banyak dikendalikan oleh pasar.

Otoritas moneter di bawah kepemimpinan Darmin akhirnya merilis aturan devisa hasil ekspor untuk mendukung pasokan dolar AS di dalam negeri. BI merilis Peraturan Bank Indonesia No. 14/11/PBI/2012 tentang penerimaan DHE dan DULN.

Aturan itu berhasil menarik devisa hasil ekspor cukup banyak ke sistem keuangan domestik. Hanya saja, beleid tersebut belum secara tegas mengatur tenor atau berapa lama devisa tersebut harus diparkir di dalam negeri karena hal itu akan bertabrakan dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa yang membebaskan setiap penduduk memiliki dan menggunakan Devisa.

Melompat ke 2020, Indonesia yang kaya sumber daya alam berulang kali menikmati windfall komoditas menyusul harga komoditas yang berpesta pora. Namun, menjadi ironis ketika booming komoditas ekspor itu tidak selalu diikuti penguatan nilai tukar rupiah ketika berhadapan dengan dolar AS. 

BI meluncurkan kebijakan term deposit valas untuk menampung devisa hasil ekspor, demi mendukung otot rupiah (Bloomberg)

Memang ada banyak faktor selain faktor ketersediaan dolar AS di sistem keuangan dalam negeri. Selain selama ini dana para eksportir banyak yang diparkir di perbankan Singapura menyusul tawaran imbal hasil yang dinilai lebih atraktif, nilai tukar rupiah juga berhadapan langsung dengan sentimen bunga tinggi dari negara “nenek moyang” dolar AS, yaitu Amerika Serikat. 

Langkah The Federal Reserves sudah sangat agresif mengerek bunga FFR hingga ke level 4,75% seiring tekanan inflasi di negeri paman sam yang membubung tinggi, itu telah membuat dolar AS tak terkalahkan di pasar global. Secara alami, aset-aset pemodal bergerak mencari imbal hasil yang lebih menarik di pasar negara maju ketimbang tetap bertahan di pasar emerging market seperti Indonesia, yang dinilai lebih berisiko. 

Persoalannya, ketika bunga The Fed terkerek naik, Indonesia juga tengah menikmati bonanza komoditas yang mengantarkan neraca dagang RI mencetak surplus selama 33 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Penyebab terbesar tak lain adalah booming harga komoditas di mana Indonesia adalah surganya: batubara, minyak kelapa sawit, nikel, timah, dan lain-lain.

Ketika kinerja ekspor melesat ke langit, mengapa rupiah masih saja kurang daya menghadapi keperkasaan dolar AS?

Sepanjang 2022, Indonesia berhasil membukukan ekspor senilai US$ 291,98 miliar. Ini adalah nilai ekspor tertinggi dalam sejarah republik. Namun, cadangan devisa (cadev) justru menurun US$ 7,7 miliar sepanjang tahun lalu, dibandingkan posisi US$ 144,91 miliar pada Desember 2021.

Nilai tukar rupiah menghadapi dolar AS sempat ke level Rp 14.000-an pada akhir Januari lalu, kendati kini kembali melemah di kisaran Rp 15.199 menurut kurs JISDOR Bank Indonesia, Jumat (17/2/2023).

“Bagi BI, sepertinya mereka melihat ada keterputusan antara fundamental ekspor dengan rupiah,” komentar Galvin Chia, Strategist di Natwest Markets, Singapura, seperti dikutip oleh Bloomberg News, Kamis (16/2/2023).

Pelajaran dari tahun 2022 di mana ekspor berjalan baik ketika dolar tengah berkibar, nyatanya tidak membantu menahan depresiasi mata uang garuda. Kebijakan DHE ini akan menjadi amunisi tambahan bagi BI untuk menopang stabilitas rupiah di tengah spekulasi bunga The Fed yang diprediksi akan kembali naik hingga ke level 5,5%. 

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, kebijakan DHE ini akan mendorong kenaikan cadangan devisa hingga sebesar US$ 50 miliar per tahun.

Cadangan devisa per akhir Januari menembus level tertinggi sejak Februari 2021 di level US$ 139,4 miliar, naik US$ 2,2 miliar dari posisi akhir tahun lalu. Angka cadev itu setara dengan pembiayaan impor 6,1 bulan atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman memprediksi, cadangan devisa akan mampu menguat di kisaran US$ 135 miliar hingga US$ 145 miliar sampai akhir 2023. Dukungan terutama berasal dari pembukaan lagi ekonomi China yang diperkirakan bisa menarik lagi para pemodal menempuh rebalancing portofolio di kawasan Asia.

Selain itu, sentimen bunga tinggi dari bank sentral utama dunia juga diperkirakan akan mencapai puncak pada akhir semester I-2023. Ditambah lagi kebijakan DHE dan hilirisasi. Kesemua amunisi itu diyakini bisa mampu memberikan penguatan pada mata uang garuda.

(rui/aji)

No more pages