Dia karena itu berharap agar MK dengan bijak dan lebih baik tidak memutuskan hal ini. Lembaga yudikatif tersebut harus menjaga marwahnya sebagai pemutus perkara politik yang dipercaya hingga pascapemilu nanti. Apalagi saat ini yang menjadi Ketua MK adalah Anwar Usman yang tak lain merupakan adik ipar Presiden Jokowi, paman Gibran. Putusan yang membuka ruang bagi Gibran akan dianggap beraroma konflik kepentingan.
"Padahal MK itu sangat tinggi karena yang memutus perkara-perkara politik ya MK bukan MA. Jadi untuk perkara-perkara sengketa hasil pilpres pileg dan pilkada kan MK. Kalau MK legitimasinya tipis, orang jadi tidak percaya," imbuhnya.
Bivitri menjelaskan, apabila MK konsisten dan tetap pada prinsip open legal policy maka seharusnya menolak permohonan ini. Namun sayangnya sinyalemen pesan soal pentingnya pemimpin muda kata dia malah digaungkan Ketua MK Anwar Usman dalam suatu seminar beberapa waktu lalu. Pesan itu kemudian menurut Bivitri rentan kepentingan dan politis.
Diketahui bahwa alasan sejumlah pemohonan mengajukan uji materiil adalah agar usia capres-cawapres disamakan dengan syarat usia kepala daerah. Alasannya, para kepala daerah dianggap banyak yang kompeten walau masih berusia muda. Sementara Gibran pada saat ini merupakan Wali Kota Surakarta.
"Jadi apa yang mungkin terjadi kalau misalnya permohonan itu diterima dikabulkan oleh MK, tentu saja Gibran bisa jadi cawapres kalau memang koalisinya menginginkan dan Jokowinya mengizinkan," lanjut dia.
Tak Terusik
Gibran sendiri sempat merespons soal dirinya di tubir putusan MK dan batas usia tersebut berikut adanya olok-olok netizen di media sosial soal plesetan "Mahkamah Keluarga".
Seharusnya MK tidak mengambil pengabulan keputusan ini
Hadar Nafis Gumay
Dia mengatakan tidak terlalu terusik bahkan tak tersinggung karena wewenang perubahan usia capres-cawapres bukan di tangannya.
"Wewenang bukan ada di saya, ya itu monggo penggugat yang ditanya jangan di saya. Biar warga yang menilai (soal putusan MK)," kata Gibran dikutip dari media-media lokal di Jawa Tengah.
Gibran yang selama ini digadang jadi sosok bakal cawapres bagi bakal capres Prabowo Subianto sempat disambut positif oleh Partai Gerindra. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani membenarkan bahwa suara-suara relawan menginginkan Gibran mendampingi Prabowo, ketua umumnya itu di Pilpres 2024. Terbaru, aspirasi itu disampaikan oleh relawan Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi).
"Nama Gibran itu muncul dalam Deklarasi Samawi (relawan Jokowi dulu) kemudian dalam rapimnas (rapat pimpinan nasional) mereka, mereka berembuk (seluruh Indonesia), kesimpulannya mereka mendukung Prabowo sebagai capres 2024 karena dianggap memiliki keseriusan dalam melanjutkan garis perjuangan Jokowi. Tapi (Samawi) meminta kalau bisa cawapresnya mas Gibran," ucap Muzani di Jakarta pada Senin (9/10/2023).
Diketahui MK pada Senin atau lusa akan menyampaikan putusan pengujian Pasal 169 huruf q Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan ini teregistrasi dengan nomor perkara 100/PUU-XXI/2023.
Saat ini batas minimal usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang termuat pada Pasal 169 huruf q adalah 40 tahun. Bunyinya sebagai berikut:
“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Alasan para pemohon menggugatnya adalah dengan hal persyaratan usia dinilai diskriminatif.
"Secara fakta, pemohon dalam melaksanakan hak hukumnya yakni untuk mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden tidak dapat dilaksanakan karena secara diskriminatif UU 7 Tahun 2017 telah membatasi hak pemohon karena calon wakil presiden harus minimal berusia 40 tahun," kata salah satu pemohon yakni Marson Lumbanbatu dikutip dari laman MK (26/9/2023).
Rusak Demokrasi
MK yang tak pada tempatnya memutus soal open legal policy batas usia capres-capres juga ditegaskan pengamat pemilu yang juga mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Sejak awal menurut dia, seharusnya MK tidak bersedia untuk menguji materi tersebut.
"Ya seharusnya (MK menolak). Itu juga yang menjadi harapan saya tetapi kita sudah tahu dan yang jelas permohonan ini sudah diproses ya kita tunggu saja isi putusannya. Jadi tidak ada konstitusional di sini, seharusnya MK tidak mengambil pengabulan keputusan ini dan ya MK (berarti) inkonsisten," kata Hadar dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (13/10/2023).
Hadar yang juga Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NetGrit) tersebut mengatakan, MK juga harus berhati-hati dan bijak lantaran putusannya nanti bisa menyebabkan ketegangan politik yang berdampak pada masyarakat.
"Berbicara secara langsung terkait dengan materi yang tengah mereka tangani kemudian juga ada hubungan perkawinan antara keluarga pak Jokowi dengan ketua (MK) itu semua tidak bisa dihindari. Pak ketua juga tidak mengundurkan diri dari persidangan. Jadi banyak hal yang tanpa ada putusannya pun, analisis atau dugaan, kritik, pandangan di luar sudah ke arah sana," ujarnya.
Pakar pemilu itu menambahkan, apabila MK mengabulkan juga akan berdampak pada kualitas demokrasi yang dipolitisasi sedemikian rupa.
"Tapi ini kan akan terjadi perubahan di mana tahapan pemilu sebelumnya sudah berjalan dan terjadi 2 hari sebelum pendaftaran (putusan). Nah itu akan merusak tatanan kita yang selama ini lebih mapan dalam berdemokrasi dan menjalankan pemilu," lanjut dia.
Diketahui pendaftaran capres-cawapres akan dimulai pada 19 Oktober 2023. KPU dan Komisi II DPR sebelumnya menyetujui bahwa tahapan untuk pendaftaran yakni 19-25 Oktober 2023.
"Jadi saya rasa itu rusak (kalau dikabulkan MK) yang serius yang harus kita hindari (terhadap demokrasi). Yang sekarang mungkin peluangnya memastikan ini semua tidak terjadi ya di tangan MK. Jadi seharusnya mereka betul-betul bijak dalam memutus perkara ini," tutupnya.
(ezr)