Bloomberg Technoz, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif merespons kritik berbagai kalangan terhadap kebijakan bagi-bagi rice cooker bagi 500.000 keluarga penerima manfaat (KPM) dengan anggaran Rp347,5 miliar.
Berbagai pakar dan ekonom menilai kebijakan tersebut merupakan program mubazir yang tidak akan efektif menekan impor gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG) serta menaikkan konsumsi listrik guna mengatasi masalah oversuplai PT PLN (Persero).
“Kalau tidak dicoba [dengan program tersebut], mau ngapain? Kita mau impor LPG terus? Ada yang suka impor LPG emang?” ujar Arifin saat ditemui di kantornya, Jumat (13/10/2023).
Menurut perhitungan Kementerian ESDM, program tersebut dapat menaikkan konsumsi listrik sekitar 140 GWh atau setara dengan kapasitas pembangkit 20 MW. Tidak hanya itu, program tersebut diklaim menghemat LPG sekitar 29 juta kilo atau setara dengan 9,7 juta tabung LPG bersubsidi 3 kg.
Saat ini, Arifin mengatakan Kementerian ESDM sedang mengebut perumusan skema distribusi bantuan 500.000 unit rice cooker tersebut, lantaran harus direalisasikan dalam waktu singkat atau hanya 2 bulan sebelum tutup tahun.
Namun, dia menolak untuk membeberkan siapa vendor atau perusahaan pemasok alat masak berbasis listrik (AML) yang ditunjuk untuk program tersebut. Dia hanya menyebut pemerintah memilih merek lokal dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tertinggi.
“Ya [TKDN-nya] yang semaksimal mungkin, kan banyak [perusahaan] yang bisa bikin. Kita lihat kan [ada] Maspion, National, dan lainnya,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11/2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga. Sebagai turunannya, diterbitkan pula Petunjuk Teknis Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik (AML) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 548.K/TL.04/DJL.3/2023.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law (Celios) Studies Bhima Yudhistira mengatakan premis ‘bagi-bagi rice cooker’ yang digunakan pemerintah salah sasaran jika ditujukan untuk menekan impor LPG.
“Masalahnya, LPG 3 kg ini saja kan tidak tepat sasaran. Artinya, masalahnya ada pada distribusi yang selama ini dinikmati masyarakat menengah ke atas. Jadi kalau sumber masalahnya itu, bukan dijawab dengan bagi-bagi rice cooker,” ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga sepakat jika pemerintah berkehendak mengurangi beban impor LPG untuk kebutuhan rumah tangga.
“Seperti yang kita ketahui, saat ini kebutuhan memasak rumah tangga saat bergantung pada gas LPG. Dengan insentif ini, pemerintah berharap terjadi bauran penggunaan energi dan pengurangan beban impor LPG,” ujarnya.
Hanya saja, Daymas menilai pemilihan rice cooker sebagai bentuk bantuan untuk program tersebut tidak sesuai dengan konteks dan tujuan yang ingin disasar pemerintah.
“Saat ini kami melihat pemberian insentif ini kuranglah efektif dan tepat sasaran. Lebih baik pemerintah dapat memberikan alternatif yang lebih kontekstual, bergantung pada lokasi target masyarakat yang mau diberikan insentif,” terangnya.
Dengan kondisi alam dan geografis Indonesia yang sangat beragam, Daymas berpendapat masyarakat yang berada di areal perkebunan atau pertanian dapat diberi insentif alat masak dari bahan bakar charcoal/biochar yang sumber dayanya lebih mudah didapatkan.
Lalu, masyarakat di pesisir bisa diberikan alat masak tenaga surya atau kompor surya. “Dengan demikian, tidak melulu bergantung dari sumber-sumber yang justru sulit penyediaannya dari rumah masyarakat setempat,” tegasnya.
(wdh)