SYL kemudian menjadi tersangka KPK bersama Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta. Mereka disebutkan berkomplot memaksakan saweran rutin di jajaran eselon 1 dan 2 di Kementan setiap bulan. Besarannya dipatok antara US$4000-US$10.000 atau setara dengan Rp62,7 juta-Rp177 juta. Setidaknya kata KPK, dari pengepulan tersebut sudah terkumpul Rp13,9 miliar yang mana sebagian juga sudah digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit dan cicilan mobil Alphard.
“Sejauh ini uang yang dinikmati Syahrul bersama-sama dengan Kasdi dan Hatta sejumlah sekitar Rp 13,9 miliar,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (11/10/2023).
Sementara pengamat Krimonologi menilai, modus yang digunakan SYL dalam dugaan korupsi kali ini masih mirip dengan modus yang biasa digunakan oleh kepala daerah yang meminta setoran misalnya dari kepala dinas dan bawahannya.
Modus 'raja daerah' yang dipraktikkan SYL ditanggapi oleh Guru Besar Kriminologi FISIP UI Adrianus Meliala. Dia mengatakan, pemberian uang yang diberikan baik langsung maupun tidak langsung merupakan gratifikasi.
"Korupsi seperti ini sebenarnya marak terjadi di level wali kota atau kabupaten (bupati). Mengapa demikian? Karena pada level dua kabupaten/kota itu kebutuhan untuk memenuhi uang kampanye politik itu besar sekali karena di tingkat dua kan memang orang beli suara ya, beli kepala. Maka para bupati wali kota itu menanggung utang jadi dia harus cari macam-macam. Kalau tidak bisa cari dari perizinan yang kemudian ada uangnya atau dengan cara seperti jabatan ini," kata Adrianus Meliala saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (12/10/2023).
(ezr/frg)