Adapun, dia memperkirakan kebutuhan investasi untuk pengembangan EBT mencapai US$55 miliar (sekitar Rp863,89 triliun asumsi kurs saat ini)
Selain menyiapkan pembangkit dan infrastrukturnya, peta jalan NZE Indonesia mencakup komersialisasi dari pembangkit berbasis EBT tersebut.
“Kalau enggak, ini berat. Ini yang coba kita [rumuskan] karena kita negara kepulauan terbesar di dunia. Kita agak unik, kalau tidak mengembangkan supergrid, kita akan bertahan dengan sistem kelistrikan yang terpisah-pisah antarpulau,” kata Yudo.
Dia menambahkan saat ini Dewan Energi Nasional sedang menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk Kebijakan Energi Nasional Baru, yang mencakup peta jalan NZE tersebut.
Aturan itu akan menjadi turunan dari Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (UU EBET) yang sedang difinalisasi di DPR, bersamaan dengan pembahasan rencana revisi UU Migas dan UU Ketenagalistrikan.
Potensi Belum Termanfaatkan
Lebih lanjut, Yudo mengatakan Indonesia memiliki potensi sumber EBT sebesar 3.687 GW yang baru termanfaatkan dalam jumlah sangat kecil.
“Sekarang [pemanfaatan EBT] kita baru mencapai 12,7 GW, masih kecil dibandingkan dengan hampir 4.000 GW potensi yang kita miliki. Masih banyak peluang sampai beberapa dekade yang akan datang. Peluang itu didukung tren penurunan biaya pembangunan EBT, biaya investasi untuk EBT, termasuk biaya integrasi yang kami harapkan lebih murah dan bersaing dengan PLTU yang sudah ada,” jelas Yudo.
Sekadar catatan, Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan untuk pembangkit sumber daya listrik mencapai 23% pada 2025. Namun hingga saat ini, bauran EBT baru terealisasi 12,5%, atau masih cukup jauh dari target.
(wdh)