Menurut Yudo, per 2022, sektor energi sudah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 91,5 juta ton CO2 ekuivalen, yang dilakukan melalui aksi mitigasi efisiensi energi baru dan terbarukan (EBT) bahan bakar rendah karbon, penggunaan teknologi bersih, dan lainnya.
“Sejalan dengan komitmen ini, Indonesia juga menyampaikan untuk mencapai net zero emission [emisi nol bersih] pada 2060 atau lebih cepat. Bisa lebih cepat kalau kita mendapatkan dukungan dari komunitas global,” tuturnya.
Selain dengan NDC, Yudo menyebut penurunan emisi dari sektor energi ditargetkan mencapai 93% dengan skema bisnis seperti biasa (business as usual) atau dinaikkan dari 127 juta ton CO2 menjadi 129,4 juta ton CO2 pada 2030.
Target tersebut, menurutnya, akan dicapai melalui berbagai strategi yaitu pendanaan, penggunaan kompor induksi, dan elektrifikasi sektor pertanian.
“Lalu juga pengembangan EBT – baik secara off grid maupun on grid baik bahan bakar nabati, pensiun dini PLTU, CCS/CCUS, lalu sumber energi baru seperti hidrogen, amonia, dan kalau ke depan kita ada PLTS, itu sifatnya intermitent. Ada matahari di sana,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, Yudo mengatakan Indonesia juga membutuhkan tambahan sumber energi baru untuk meyuplai kebutuhan bauran EBT dalam ketenagalistrikan. Salah satu yang sedang dipertimbangkan adalah pengembangan energi nuklir.
Sekadar catatan, Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan untuk pembangkit sumber daya listrik mencapai 23% pada 2025. Namun hingga saat ini, bauran EBT baru terealisasi 12,5%, atau masih cukup jauh dari target.
(wdh)