Selama 15 tahun terakhir, rata-rata harga CPO turun 1,8% pada September.
Penurunan harga ini, lanjut Satria, disebabkan oleh musim panen yang membuat pasokan melimpah sehingga harga turun. “Pada Agustus saja, produksi CPO Malaysia naik 8,9% month-to-month dan 1,6% yoy ke 1,75 juta ton karena tingginya panen di Sabah dan Sarawak,” sebut Satria dalam risetnya.
Selepas September, tambah Satria, biasanya harga CPO cenderung naik lagi. “Volume ekspor CPO biasanya naik lagi pada Oktober-Desember,” ujarnya.
Impor Juga Turun
Sementara konsensus Bloomberg untuk proyeksi pertumbuhan impor menghasilkan median -3,5% yoy. Jika terwujud, seperti halnya ekspor, maka akan menjadi kontraksi selama 4 bulan beruntun.
Perlambatan aktivitas industri boleh jadi menjadi penyebab kelesuan impor. Maklum, sekitar 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang digunakan untuk keperluan produksi industri dalam negeri.
S&P Global mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada September ada di 52,3. Masih di atas 50, yang menandakan berada di zona ekspansi.
Namun, ekspansi September sedikit melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Agustus, skor PMI manufaktur Tanah Air ada di 53,9. PMI manufaktur 52,3 juga menjadi yang terendah sejak Mei atau 3 bulan terakhir.
Sementara Indeks Kepercayaan Industri (IKI) keluaran Kementerian Perindustrian berada di 52,51 pada September. Masih di atas 50, masih ekspansif, tetapi turun 0,71 poin dari bulan sebelumnya.
Walaupun masih ekspansi dan sebagian besar pelaku usaha masih optimistis terhadap kondisi enam bulan ke depan, tingkat pesimisme pelaku usaha cukup mengkhawatirkan pada September. Pelaku usaha yang menyatakan pesimistis bertambah 2,4% menjadi 11,6%.
Hal ini disebabkan ketidakpastian di pasar global. Selain itu adanya kenaikan harga energi juga meningkatkan tingkat pesimisme pelaku usaha.
Untuk neraca perdagangan, konsensus Bloomberg menghasilkan median proyeksi di surplus US$ 2,15 miliar. Menyusut dibandingkan Agustus yang sebesar US$ 3,12 miliar.
Jika terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan membukukan surplus selama 41 bulan beruntun.
(aji)