Sejumlah menteri era Presiden Jokowi tersangkut korupsi yang melibatkan uang miliaran rupiah. Dua menteri sosial, Idrus Marham dan Juliari Batubara, dihukum penjara karena kasus gratifikasi PLTU Riau-1 dan korupsi dana bantual Sosial. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi terjerat kasus korupsi dana hibah dan KONI. Johnny G. Plate saat ini sedang menjalani sidang korupsi BTS 4G BAKTI. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terjerat kasus dugaan suap izin ekspor benih.
Kasus dugaan korupsi teranyar melibatkan Syahrul Yasin Limpo, menteri pertanian sebelum mengundurkan diri setelah tersandung kasus korupsi.
KPK menduga SYL, sebutan untuk Syahrul Limpo, sejak 2020 hingga 2023 menerima uang gratifikasi hingga suap dari setoran aparatus sipil negara di kementerian itu dengan jumlah total sekitar Rp13,9 miliar. YSL diduga mewajibkan ASN terutama pejabat eselon 1 dan eslon 2 di kementerian Pertanian untuk menyetor dana secara rutin yang kemudian digunakan sendiri oleh dia dan keluarganya, seperti membayar cicilan kredit mobil Aplhard dan kartu kredit.
Sistem Pengawasan Lemah
Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan korupsi di Indonesia semakin marak tidak hanya disebabkan oleh pengawasan yang lemah tetapi juga karena pemimpin negara kurang kompeten memilih anggota kabinet.
"Kembalinya aktor politik yang terjerat kasus korupsi itu kan sudah menjadi hal yang lumrah di era Pak Jokowi. Apalagi kalau kita melihat ini bukan menteri satu-satunya. Ada Johnny Plate, Juliari [Batubara], Edhy Prabowo," kata Kurnia Ramadhana, peneliti ICW, kepada BloombergTechnoz.
Danang dari TI Indonesia mengatakan modus yang dilakukan oleh SYL ini pun bukan pola yang biasa dilakukan oleh pejabat tingkat menteri.
"Ini pola kasusnya, seperti [modus yang dilakukan] kepala daerah. Minta setoran kepala dinas dan jabatan strategis dan banyai bupati itu rata-rata terjadi di kasus Bangkalan, Klaten dan Ngawi. Ini sepertinya mirip dengan kasus korupsi di pemda sebetulnya. Biasanya Menteri tidak seperti itu, jadi ini replikasi praktik," kata Danang.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala menjelaskan praktik korupsi seperti itu memang marak di daerah karena pejabat memerlukan dana politik yang tinggi.
"Korupsi seperti ini sebenernya marak terjadi di level wali kota atau kabupaten (bupati). Mengapa demikian? Karena pada level dua kabupaten/kota itu kebutuhan untuk memenuhi uang kampanye politik itu besar sekali karena di tingkat dua kan memang orang beli suara ya, beli kepala. Maka para bupati wali kota itu menanggung utang jadi dia harus cari macam-macam. Kalau tidak bisa cari dari perizinan yang kemudian ada uangnya atau dengan cara seperti jabatan ini," kata Adrianus Meliala saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (12/10/2023).
Adrianus mengatakan bahwa ketika SYL, yang mantan Bupati Bone dan Gubernur Sulawesi Selatan, melakukan modus serupa di tingkat menteri yang tidak memerlukan pejabat menyetor ke atas, dana yang dikumpulkan itu digunakan untuk gaya hidupnya atau tuntutan lain yang banyak diduga oleh masyarakat: terkait partai politik.
Partai politik, menurut Adrianus, yang seharusnya ikut memainkan peran sebagai pengawal tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik yang sebagian besar berasal dari partai politik di Indonesia justru terkesan membiarkan.
"Juga bisa diduga dari yang dia terima sebagian dipakai untuk menyetor kepada partai politiknya (Nasdem) dan hal ini sudah ditengarai. Mengapa SYL ini bisa beroperasi lebih lama? Itu karena dibiarkan oleh partainya karena telah memberikan setoran tersebut," ujar Adrianus.
Pelemahan pengawasan dan pencegahan didukung juga oleh kesan pihak berwenang tidak segera mengambil tindakan sejak dugaan korupsi mulai terendus. Meski
"Sebetulnya kasus korupsi ini harusnya sudah lama ya, mengapata baru sekarang [terungkap]. Ini yang harus kita pertanyakan. Jangan sampai dijadikan tersangka karena berpisah jalan dengan Jokowi," kata Danang dari TI Indonesia merujuk pada perseteruan politik antara Jokowi dan partai NasDem, partai asal YSL.
Sementara Kurnia dari ICMI menyoroti sistem pengawasan internal ini yang rentan dengan intervensi pejabat tertinggi kementerian karena Inspektur Jenderal berada di bawah kewenangan menteri.
Hal ini diaminini oleh Adrianus Meliala yang menduga sudah banyak pegawai kementan yang mengadu ke Irjen namun tidak ditanggapi hingga ada operasi dari KPK.
(ezr)