Selama ini, Rifan menjelaskan, berdasarkan penilaian Kemendag, belum ada temuan tersebut karena belum ada yang melakukan pelaporan.
Rifan juga merespon kemungkinan e-commerce melakukan praktik bakar uang untuk melakukan predatory pricing. Menurutnya, kemungkinan itu bisa terjadi namun harus dilakukan penelitian lebih dalam apakah praktik membakar uang benar menimbulkan predatory pricing.
“Kalau terus-terusan bisa jadi. Tapi kan selama ini sudah berhenti bakar duitnya. Mungkin akan normal lagi, nanti kita lihatlah ya seperti apa,” ujarnya.
Rifan kembali menegaskan bahwa Permendag 31/2023 telah mengatur agar praktik predatory pricing tidak terjadi. Hal ini pun termaktub dalam pasal 13 beleid tersebut. Adapun pasal 13 ayat 2 memang menjelaskan bahwa penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) harus berperan aktif dalam menjaga harga barang dan/atau jasa bebas dari praktik manipulasi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, kata dia, tentu Permendag 31/2023 tidak bisa berdiri sendiri. Rifan mengatakan pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya untuk mengatur dan memperketat arus impor barang.
“Sehingga pada akhirnya jangan sampai ada barang impor yang bisa masuk dengan harga murah. Ketika barang asal luar negeri masuk ke Indonesia melalui channel dari importasi umum, akan ditentukan bea masuk dan sebagainya. Sehingga ketika dijual di dalam negeri, harga setidaknya sama dengan barang lokal,” ujarnya.
“Permendag 31/2023 menutup sumber-sumber yang dimungkinkan harga barang (bisa dijual) lebih murah (yakni) melalui crossborder, artinya pembatasan USD100 adalah upaya agar barang tidak langsung masuk ke Indonesia dengan harga murah dan tidak kena bea atau pajak,” tutupnya.
(dov/ain)