Rupiah yang sempat 'menikmati' penguatan tipis dua hari terakhir, belum memiliki cukup amunisi melawan pembalikan arah angin yang mendadak berhembus kuat begitu data inflasi Amerika menunjukkan pekerjaan Federal Reserve masih jauh dari usai.
Tingkat imbal hasil US Treasury terbang di semua tenor, dengan UST-10 tahun melesat hingga 13,9 bps ke kisaran 4,69%. Aksi jual di pasar surat utang marak baik di pasar negara maju maupun berkembang, ditandai dengan indeks harga obligasi yang kompak di zona merah. Pasar saham Amerika juga dilanda aksi jual semalam. Sementara indeks dolar AS kembali tergerus melejit setelah dua hari membukukan pelemahan.
Data inflasi AS pada September yang dirilis tadi malam waktu Indonesia, memperlihatkan, negeri itu mencatat kenaikan laju inflasi dalam tiga bulan berturut-turut secara tahunan. Kendati inflasi inti bulan lalu turun sesuai ekspektasi, akan tetapi angka inflasi IHK tahunan yang melampaui ekspektasi pasar membuat 'taruhan' atas kenaikan bunga acuan Fed fund rate di sisa tahun ini kembali membesar.
Rupiah tahun ini mencetak rekor terlemah di posisi Rp15.735/US$ pada 10 Oktober lalu ketika modal asing di SBN tercatat keluar dari pasar surat utang sekitar Rp528 miliar. Sementara keesokan harinya asing kembali menjual obligasi RI hingga Rp1,28 triliun. Level rupiah itu menjadi yang paling lemah, setidaknya sejak awal April 2020, periode ketika pandemi Covid-19 tengah ganas-ganasnya memicu krisis di seluruh dunia.
(rui)