Oleh karena itu, risiko koreksi menjadi lebih terbuka. Apalagi harga emas sudah naik cukup tinggi dalam seminggu terakhir.
Target koreksi terdekat ada di US$ 1.860/ons. Jika tertembus, maka ada kemungkinan turun lagi menuju US$ 1.844/ons.
Sementara target kenaikan terdekat adalah US$ 1.877/ons. Penembusan di titik ini bisa membawa harga emas naik menuju US$ 1.901/ons.
Di Persimpangan
Harga emas sedang di persimpangan karena ada 2 sentimen yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, inflasi di Amerika Serikat (AS) masih tinggi.
Pada September, inflasi tercatat 0,4% month-to-month. Lebih tinggi dibandingkan Agustus yang sebesar 0,3%.
Akibatnya, pasar kembali menimbang-nimbang soal kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve. Mengutip CME FedWatch, peluang The Fed menaikkan suku bunga acuan pada Desember adalah 38%. Naik dibandingkan sebelum rilis data inflasi yaitu 28%.
Kenaikan suku bunga acuan bukan kabar baik bagi emas. Sebab, emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset) sehingga kurang menarik saat suku bunga naik.
Namun di sisi lain, tensi geopolitik sedang tinggi seiring konflik Israel dengan kelompok Hamas. Ada kekhawatiran konflik itu menyebar hingga ke negara-negara lain, misalnya Iran.
Emas biasanya menjadi perlindungan (safe haven) bagi investor di saat situasi sedang tidak pasti. Terbukti, awal pekan ini harga emas naik sampai 1,5%.
“Saya perkirakan harga emas berada di kisaran US$ 1.860-1.920/ons dalam waktu dekat,” kata Edward Moya, Analis Senior OANDA, seperti dikutip dari Bloomberg News.
(aji)