Sementara di pasar saham, nonresiden sudah mencatat posisi jual bersih Rp6,43 triliun dan di SRBI net buy Rp7,65 triliun.
Dengan sinyal terbaru Federal Reserve yang akan mempertahankan bunga acuan tinggi lebih lama ditambah masih sempitnya selisih imbal hasil antara RI dan Amerika, arus keluar modal asing diprediksi masih akan terus berlangsung dan bisa menyeret pelemahan rupiah lebih dalam.
Tekanan terhadap pasar surat utang RI, menurut Analis Citigroup Inc Gaurav Garg masih akan besar. Imbal hasil SBN 10 tahun dinilai baru akan menarik saat mendekati 7,4%, menurut analis. Level itu masih berjarak 68 bps dari level yield saat ini yang terpantau di kisaran 6,72%.
"Kebijakan SRBI dan DHE kesulitan menahan arus keluar hot money yang deras dalam tiga minggu terakhir ini dan diragukan dapat terus menahan di masa mendatang," komentar analis Samuel Sekuritas Lionel Prayadi, Rabu malam (11/10/2023).
Sampai gelar lelang SRBI pekan lalu, total emisi SRBI mencapai Rp91 triliun di mana kepemilikan asing masih di kisaran 10% dari nilai itu atau sekitar Rp9 triliun, menurut laporan Bank Indonesia.
"SRBI masih tergolong baru sehingga pasar sekundernya belum terlalu dalam. Efektivitasnya diperkirakan baru akan terlihat signifikan pada November-Desember nanti," kata Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata.
Sebagian pelaku pasar menilai, strategi BI berupaya menggaet minat asing, atau setidaknya menahan agar tidak keluar dari pasar domestik melalui SRBI yang tenornya pendek, sejatinya kurang tepat bahkan akan sulit dilakukan karena sebagian besar pemodal asing sejauh ini lebih menyukai surat utang RI tenor panjang terutama investor asing institusi seperti dana pensiun atau perusahaan asuransi.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Edi Susianto menyatakan, BI akan terus fokus menjaga kepercayaan diri pasar baik di pasar valas maupun SBN dalam menghadapi turbulensi yang telah menyeret rupiah belakangan ini. Itu berarti dengan aktif mengintervensi pasar obligasi juga pasar valas spot juga NDF.
DHE Terlambat
Upaya lain melalui repatriasi devisa ekspor sampai saat ini juga masih jauh dari harapan. Pasokan valas di pasar domestik masih ketat, dan semakin ketat ketika ada permintaan besar dari BUMN seperti PT Pertamina (Persero).
Berdasarkan data BI, memasuki Oktober ini, lelang Term Deposit Valas DHE masih belum optimal menarik dolar para eksportir. Selama periode 1-10 Oktober lalu, lelang TD Valas DHE baru menarik US$ 516,25 juta, sekitar Rp8 triliun.
Sementara bila menghitung sejak mandatori diberlakukan awal Agustus, total yang ditarik mencapai US$ 2 miliar, setara Rp31,4 triliun. Angka itu termasuk nilai deposito rollover.
Penerapan DHE memang sedikit terlambat mengingat kinerja ekspor saat ini sudah memasuki tren penurunan sejurus dengan bonanza harga komoditas yang berakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor RI pernah mencatat di rekor tertinggi US$27,9 miliar pada Agustus 2022. Namun, angkanya terus anjlok sampai Agustus lalu mencatat penurunan lebih dari 21% dengan capaian US$ 22 miliar.
Tren itu tidak terlepas dari normalisasi harga komoditas-komoditas ekspor utama RI di pasar dunia, seperti batu bara, minyak sawit mentah hingga nikel dan komoditas tambang lain. Dengan proyeksi harga komoditas akan terus melandai, ada potensi penurunan nilai ekspor lebih lanjut ke depan. Akhirnya, nilai devisa yang ditarik pun bisa semakin kecil.
Selain itu, pemberlakuan mandatori repatriasi devisa juga baru ke empat sektor yakni Pertambangan, Perkebunan, Perhutanan dan Perikanan, belum termasuk sektor Pengolahan yang mencatat nilai ekspor lebih besar. Sampai Agustus lalu, empat sektor itu menyumbang sekitar US$ 4,35 miliar. Sementara sektor industri Pengolahan yang memberikan sumbangan ekspor terbesar, mencapai US$ 16,33 miliar.
"[Mandatori] DHE memang difokuskan ke sektor terkait SDA karena jika sektor manufaktur [diwajibkan juga], ditakutkan dapat mengganggu cash flow beberapa perusahaan karena kebutuhan barang input impor cukup tinggi," kata Josua.
Kebijakan DHE diperkirakan baru akan signifikan membantu perbaikan cadangan devisa di sisa tahun ini. Perhitungan Bank Indonesia, regulasi itu baru bisa membawa tambahan cadangan devisa sekitar US$ 8 miliar sampai US$ 9 miliar per bulan Desember nanti.
Bila mulai signifikan dampaknya, cadangan devisa bisa terbantu agar tidak kian tergerus setelah bulan lalu anjlok US$ 2,2 miliar. Sejauh ini posisi cadangan RI masih memadai untuk membiayai 6,1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"Masih di atas 3 bulan jadi posisinya masih aman. Posisi 3 bulan cadangan itu setara US$ 70 miliar," imbuh Josua.
Lionel memperkirakan apabila dua upaya itu masih belum mampu menahan arus keluar modal asing hingga nilai cadev RI tergerus US$ 8 miliar dalam dua bulan ke depan, BI mungkin akhirnya harus menimbang kenaikan bunga acuan agar rupiah tidak semakin terpuruk.
-- dengan bantuan Mis Fransiska Dewi.
(rui/aji)