Logo Bloomberg Technoz

Satelit LEO sendiri berada di antara 500-2.000 kilometer (km) di atas permukaan bumi. Pada teknologi lama satelit berada di atas permukaan 36.000 km dan bergerak sesuai orbit disesuaikan dengan kecepatan rotasi bumi. Tampak melayang tak bergerak di atas titik tetap.

Satelit LEO memiliki keuntungan, rute perjalanannya lebih pendek hingga mampu bergerak lebih cepat. Alhasil waktu yang dibutuhkan untuk mengirim dan menerima data (dikenal sebagai latensi) lebih baik dibandingkan satelit saat ini.

Pun karena sinyal dapat bergerak lebih cepat melalui ruang hampa udara daripada lewat kabel serat optik, satelit LEO berpotensi menyaingi atau melebihi jaringan internet di darat tercepat sekalipun.

Saat menghitung kecepatannya? OneWeb, perusahaan yang  awalnya didukung Richard Branson, pernah menghasilkan latensi  rata-rata 32 milidetik pada Juli 2019. Perusahaan kala itu meluncurkan satelit LEO seukuran mesin cuci dalam transmisi antara ruang angkasa dan wilayah Korea Selatan.

Musk pernah mengatakan bahwa sistem satelit Starlink-nya punya target latensi 20 milidetik pada fase awal, namun berkurang hingga setengahnya. Dengan perkembangan LEO ini terdapat spekulasi banyak perusahaan keuangan dapat melampaui operasi perdagangan sekuritas terestrial mereka.

Bandingkan dengan sistem satelit lama dengan orbit tinggi. Latensi rata-rata hampir 600 milidetik untuk perjalanan round trip. Selama ini cukup memadai untuk penyiaran, tetapi tidak untuk komunikasi dua arah real-time.

Satelit LEO bukan tanpa celah. Dengan orbit yang lebih rendah dibutuhkan kestabilan. Perlu penyeimbangan kelembaman objek dengan gravitasi Bumi — yang dapat  berkurang seiring dengan jarak. 

Sebagai perbandingan satelit geostasioner yang terbang tinggi, melaju dengan kecepatan sekitar 11.000 km/jam agar tidak jatuh kembali ke daratan, sedangkan satelit LEO harus melaju dengan kecepatan sekitar 27.000 km/jam untuk menyelesaikan satu putaran penuh planet dalam waktu 90 hingga 120 menit.

Ini berarti setiap satelit hanya melakukan kontak langsung dengan pemancar di bumi dalam waktu singkat. Inilah alasan mengapa proyek LEO melibatkan begitu banyak satelit. Dalam sistem OneWeb, perusahaan mengatakan receiver bisa mendapatkan sinyal konsisten karena satelit baru akan selalu terbang ke dalam jangkauan dan secara preemptive menggantikan sinyal dari satelit yang akan terbang di luar angkasa— kira-kira setiap 2 menit.

Dalam kesempatan berbeda di awal Oktober Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi pernah menyampaikan bahwa layanan internet LEO milik Elon Musk mulai beroperasi tahun depan. 

"Starlink beroperasi di sini awal 2024, wajib pakai IP Address Indonesia," kata Budi dalam postingan media sosial, meski tidak merinci skema investasi yang dimaksud.

Sedangkan tahun lalu Kementerian Kominfo menyatakan telah memberikan hak labuh Satelit Khusus Non Geostationer (NGSO) kepada  PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat). Hak Labuh Satelit berlakuu  untuk layanan backhaul dalam penyelenggaraan jaringan tetap tertutup Telkomsat dan bukan untuk layanan retail pelanggan akses internet secara langsung oleh Space Exploration Technologies Corp. atau Starlink.

- Dengan asistensi Greg Ritchie and Thomas Seal.

(wep/roy)

No more pages