Logo Bloomberg Technoz

Para pengambil kebijakan di bank sentral paling berpengaruh di dunia itu, sepakat bahwa kebijakan harus tetap restriktif selama beberapa waktu sembari memantau manakala ada sinyal risiko pengetatan yang berlebihan, sehingga membutuhkan penyeimbangan agar inflasi tetap terjaga di jalur penurunan menuju target 2%.

Yang pasti, secara umum, peserta pertemuan menyepakati bahwa bank sentral berada dalam posisi untuk bertindak lebih hati-hati dan bahwa kebijakan lanjutan akan bergantung pada data dengan mempertimbangkan 'keseimbangan risiko'.

Berikut ini adalah poin-poin penting dari risalah pertemuan Federal Reserve pada 19-20 September, yang dirilis pada hari Rabu malam waktu Indonesia:

  • Semua pengambil kebijakan Fed sepakat bahwa bank sentral harus “melanjutkan dengan hati-hati” dalam pengambilan keputusan suku bunga, dan data yang masuk akan membantu menentukan apakah diperlukan kenaikan suku bunga lagi dalam beberapa bulan mendatang; Bahasa tersebut memperlihatkan Fed tetap membuka pintu untuk mempertahankan biaya pinjaman tetap stabil pada keputusan berikutnya pada 1 November.
  • Para pejabat the Fed juga sepakat bahwa suku bunga harus tetap tinggi untuk “beberapa waktu” untuk terus menurunkan inflasi, dengan “beberapa” pembuat kebijakan berupaya mengalihkan fokus keputusan dan komunikasi ke arah berapa lama untuk mempertahankan suku bunga tetap tinggi, dibandingkan seberapa tinggi untuk menaikkan suku bunga.
  • Meskipun para pejabat menekankan bahwa inflasi masih terlalu tinggi, sentimen semakin bergeser ke arah menilai risiko sebagai “dua sisi” – seperti inflasi yang terlalu tinggi atau lapangan kerja yang terlalu lemah.
  • “Hampir semua” pejabat mendukung keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada kisaran target 5,25%-5,5%, yang menunjukkan bahwa Komite Pasar Terbuka Federal yang beranggotakan 19 orang tidak sepakat, dibandingkan dengan keputusan 12-0 di antara anggota yang mempunyai hak suara.

Pada pertemuan tersebut, pejabat Fed mempertahankan suku bunga pinjaman acuan mereka pada kisaran 5,25-5,5% bulan lalu, dan mengisyaratkan suku bunga akan tetap lebih tinggi lebih lama dari perkiraan sebelumnya menyusul kenaikan suku bunga lagi pada tahun ini.

Sejak saat itu, yield US Treasury utamanya yang jangka panjang terus melonjak hingga mendekati rekor 5%, telah memantik pandangan beberapa pejabat the Fed yang menganggap kenaikan lagi bunga acuan mungkin 'sudah tidak diperlukan' karena pasar telah ketat dengan sendirinya.

The Federal Reserve (Sumber: Bloomberg)

Omair Sharif dari Inflation Insights mengatakan masa depan kebijakan masih berada dalam “tarik-menarik” antara dua risiko yakni pengetatan terlalu besar yang bisa menjungkalkan perekonomian dalam resesi, juga pengetatan yang kurang yang menyulitkan inflasi jinak.

“Komite akan melanjutkan dengan hati-hati, di mana sebagian besar “belum yakin bahwa inflasi berada pada jalur yang tahan lama dan berkelanjutan hingga 2%," kata analis, seperti dilansir oleh Bloomberg News, Kamis (12/10/2023).

Tiga minggu terakhir, pasar obligasi global terguncang dengan yield UST melesat 40 bps sejak FOMC September hingga Senin lalu. Sementara selisih kredit korporasi melebar dan kondisi keuangan secara umum semakin ketat di Amerika.

Kenaikan pesat biaya pinjaman itu nampaknya mengejutkan beberapa pejabat the Fed hingga beberapa di antara mereka menyatakan bahwa pertemuan awal November nanti bunga acuan mungkin akan dipertahankan.

Di pasar swap, para pelaku pasar langsung memapas ekspektasi kenaikan FFR pada November hingga ke level terendah dengan probabilitas mengecil tinggal 8,5% dari 40% bulan lalu. Sementara ekspektasi kenaikan FFR pada FOMC Desember masih bertahan rendah di kisaran 26%.

Sampai siang ini, yield UST terus melanjutkan penurunan terutama untk tenor 5 tahun ke atas. Sementara tenor lebih pendek mencatat kenaikan imbal hasil. UST 10 tahun yang menjadi acuan bahkan sudah di kisaran 4,57% meski semalam Amerika juga melaporkan inflasi harga produsen yang lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. 

Kini, fokus pelaku pasar akan beralih menanti rilis data inflasi Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index) nanti malam. Konsensus pasar memperkirakan inflasi IHK Amerika pada September sebesar 3,6% year-on-year, menurun dibanding bulan sebelumnya 3,7%. Sementara inflasi bulanan sebesar 0,3% dari 0,6% pada Agustus.

Nanti malam juga akan ada rilis data rutin klaim pengangguran Amerika yang memberikan gambaran tentang kondisi pasar tenaga kerja terakhir negeri itu. Pasar tenaga kerja menjadi salah satu data yang sangat diperhatikan oleh the Fed mengingat andilnya pada kenaikan inflasi negeri paman sam.

Bagi Indonesia, penegasan 'higher for longer' oleh the Fed dengan masih terbukanya peluang kenaikan bunga acuan AS sekali lagi, meski dengan ruang lebih terbatas, akan membebani pasar keuangan dan terutama terhadap ketahanan nilai tukar rupiah.

Yield SUN 10 tahun berpotensi melambung hingga ke 7,5% bila the Fed kerek bunga November nanti (Bloomberg)

Bunga acuan AS yang lebih tinggi dalam waktu lebih lama akan membantu tingkat imbal hasil investasinya di level tinggi lebih lama juga. Secara alamiah itu akan memupus daya tarik investasi di pasar emerging market termasuk Indonesia. 

Arus keluar modal asing selama Oktober ini saja sudah menembus US$ 314 juta, melanjutkan capital outflow selama September yang mencapai US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp17 triliun. Dengan suplai SBN yang semakin melimpah di ujung tahun ini, tekanan harga SBN akan kian besar dan membayangi kekuatan rupiah.

(rui/aji)

No more pages