Logo Bloomberg Technoz

IEEFA menyebut Adaro membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan investasi senilai US$2 miliar atau setara Rp31,39 triliun, itupun dengan asumsi harga logam mineral cukup tinggi.  

“Kondisi finansial proyek ini cukup lemah, di mana Adaro akan rugi dengan harga aluminium saat ini,” kata Ghee Peh, penulis laporan dan Analis Keuangan Energi IEEFA, dalam siaran pers yang diterima, Rabu (11/10/2023).

Selain itu ada isu dari aspek lingkungan karena PLTU fase pertama proyek ini diprediksi menghasilkan karbondioksida setara hampir 1% dari total emisi CO2 Indonesia pada 2021.

“Dukungan pendanaannya akan semakin sulit seiring semakin banyak lembaga keuangan yang mengadopsi kebijakan untuk keluar dari proyek batu bara,” ujar Peh lebih lanjut.

Peh mengatakan, emisi CO2 yang dihasilkan juga mengkhawatirkan karena tidak hanya terkait jumlahnya, PLTU Adaro ini dapat dilabeli sumber listrik ramah lingkungan. Pembangkit listrik ini hanya akan memasok listrik di wilayah tertentu (captive power), yang berarti didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan energi smelter, alih-alih tersambung dengan jaringan listrik.

“Kita mungkin perlu berhati-hati atas risiko greenwashing jika pemerintah Indonesia benar-benar mempertimbangkan melabeli hijau pembangkit listrik captive power karena mendukung produksi logam mineral seperti nikel dan aluminium dengan mengatasnamakan transisi energi,” Peh menambahkan.

Bloomberg Technoz sudah menghubungi pihak Adaro untuk meminta klarifikasi soal ini. Namun pihak perusahaan tidak merespons permintaan tersebut. 

Dalam rilis tersebut IEEFA menceritakan bahwa pada 2020, Adaro, perusahaan energi berbasis batu bara, mengusulkan pembangunan kompleks smelter aluminium dalam tiga fase di Kaltara Industrial Park, Kalimantan Utara. Fase I smelter ini menargetkan produksi aluminium 500 kiloton per tahun (ktpa) dan akan mendapat pasokan energi dari PLTU captive 1.100 megawatt (MW). Konstruksi proyek ini sedang berlangsung.

Pembangkit listrik captive adalah sumber listrik yang tidak tersambung jaringan listrik nasional, yang dikelola dan digunakan oleh industri tertentu. Dalam hal produksi aluminium, pengolahannya dari alumina sangat padat energi yang membutuhkan 15.700 kilowatt hour (kWh) untuk menghasilkan 1 ton aluminium. 

Proyek Adaro diusulkan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi bauksit yang melimpah dan ketersediaan energi batu bara dan air di wilayah tersebut.

“Konstruksi kapasitas tambahan smelter aluminium di Indonesia dapat dikaitkan dengan dua alasan: untuk meringankan kekurangan domestik dan memanfaatkan sumber daya bauksit Indonesia guna menciptakan nilai tambah bagi ekonomi,” kata Peh.

(dhf)

No more pages