“Dukungan pendanaannya akan semakin sulit seiring semakin banyak lembaga keuangan yang mengadopsi kebijakan untuk keluar dari proyek batu bara,” ujar Peh lebih lanjut.
Ghee mengatakan, emisi CO2 yang dihasilkan juga mengkhawatirkan karena tidak hanya terkait jumlahnya, PLTU Adaro ini dapat dilabeli sumber listrik ramah lingkungan. Pembangkit listrik ini hanya akan memasok listrik di wilayah tertentu (captive power), yang berarti didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan energi smelter, alih-alih tersambung dengan jaringan listrik.
“Kita mungkin perlu berhati-hati atas risiko greenwashing jika pemerintah Indonesia benar-benar mempertimbangkan melabeli hijau pembangkit listrik captive power karena mendukung produksi logam mineral seperti nikel dan aluminium dengan mengatasnamakan transisi energi,” Peh menambahkan.
Bloomberg Technoz sudah menghubungi pihak Adaro untuk meminta klarifikasi soal ini. Namun pihak perusahaan tidak merespons permintaan tersebut.
Dalam rilis tersebut IEEFA menceritakan bahwa pada 2020, Adaro, perusahaan energi berbasis batu bara, mengusulkan pembangunan kompleks smelter aluminium dalam tiga fase di Kaltara Industrial Park, Kalimantan Utara. Fase I smelter ini menargetkan produksi aluminium 500 kiloton per tahun (ktpa) dan akan mendapat pasokan energi dari PLTU captive 1.100 megawatt (MW). Konstruksi proyek ini sedang berlangsung.
Pembangkit listrik captive adalah sumber listrik yang tidak tersambung jaringan listrik nasional, yang dikelola dan digunakan oleh industri tertentu. Dalam hal produksi aluminium, pengolahannya dari alumina sangat padat energi yang membutuhkan 15.700 kilowatt hour (kWh) untuk menghasilkan 1 ton aluminium.
Proyek Adaro diusulkan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi bauksit yang melimpah dan ketersediaan energi batu bara dan air di wilayah tersebut.
“Konstruksi kapasitas tambahan smelter aluminium di Indonesia dapat dikaitkan dengan dua alasan: untuk meringankan kekurangan domestik dan memanfaatkan sumber daya bauksit Indonesia guna menciptakan nilai tambah bagi ekonomi,” kata Peh.
Kondisi Finansial & Komitmen Lingkungan Meragukan
Tantangan untuk mengembalikan modal fase I proyek Adaro ini nyata, di mana dalam perhitungannya, Peh menyimpulkan ada risiko kerugian finansial dengan harga global aluminium saat ini sebesar US$ 2.200/ton.
“Di bawah skenario harga terbaik aluminium US$ 2.800/ton, butuh waktu 8-11 tahun bagi smelter aluminium fase I Adaro 500 ktpa dan PLTU 1.100 MW untuk mengembalikan modal belanja US$ 2 miliar, dan dengan asumsi bahwa harga aluminium akan naik 30% dari level saat ini,” kata dia.
“Sebagai tambahan, fase I dapat menghasilkan 5,2 juta ton CO2 ketika beroperasi. Angka ini setara dengan 0,8% total emisi CO2 Indonesia pada 2021,” jelas Peh.
Aluminium hijau dibuat memanfaatkan energi terbarukan alih-alih bahan bakar fosil, dan daya saingnya mengacu pada proses produksinya yang menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah.
Namun, fase I dan II proyek Adaro akan menggunakan listrik berbasis batu bara. Hanya fase III, dengan target produksi 500 ktpa juga, yang akan didukung oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Dalam rilis tersebut IEEFA juga menyebutkan, pada Februari, Standard Chartered dan Bank DBS dilaporkan telah menolak untuk mendanai Adaro fase I.
“Langkah ini tidak mengejutkan lantaran komitmen iklim kedua bank tersebut, sebuah tren yang muncul dalam laporan IEEFA tahun ini tentang 200 institusi keuangan dan kebijakannya keluar dari proyek batu bara,” Peh menjelaskan.
Adaro telah mengamankan pinjaman dari lima bank dalam negeri Indonesia.
Proyek smelter ini semakin rumit dengan berita pada Agustus, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meninjau kembali taksonomi hijau Indonesia untuk memasukkan PLTU dalam label hijau selama digunakan untuk transisi energi.
“Komentar IEEFA baru-baru ini mengungkapkan bahwa ide tersebut mengirimkan sinyal buruk kepada investor yang fokus pada keberlanjutan dan administrasi yang mengandalkan kepastian kebijakan pemerintah Indonesia dan keseriusannya dalam bertransisi menuju masa depan energi bersih.”
Menurut Peh, terdapat pembangkit listrik captive dengan kapasitas total 21 gigawatt (GW) dalam perencanaan di seluruh Indonesia, setara dengan setengah kapasitas PLTU nasional pada 2023 sebesar 40,5 GW. “Kapasitas pembangkit listrik captive Indonesia sudah mencapai 13 GW, dan akan ada 21 GW dalam perencanaan, dengan setengah sudah masuk tahap konstruksi,” kata Peh.
Peh menghitung, pembangkit listrik 13 GW tersebut sudah mencapai 32% dari kapasitas total PLTU Indonesia tahun ini. Begitu fasilitas 21 GW itu selesai dibangun, akan terjadi peningkatan hingga 52% dari kapasitas PLTU 2023 dan 17% permintaan batu bara 2022 di Indonesia. Sehingga, isu pembangkit listrik captive berdampak signifikan pada pertumbuhan permintaan batu bara di Indonesia.
(dhf)