Logo Bloomberg Technoz

Kawasan Timur Tengah memang menjadi kunci bagi pasar minyak dunia. Maklum, hampir sepertiga pasokan minyak global datang dari kawasan tersebut.

Sumber: OPEC

Mengutip Bloomberg News, Goldman Sachs Group Inc menilai friksi Hamas-Israel akan membuat normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi tertunda. Kedua, ada risiko eskalasi tensi akan meningkat sehingga harga minyak bisa naik lagi.

Kemudian Citigroup Inc menilai serangan Hamas ke Israel punya implikasi bullish terhadap harga minyak. Apalagi jika kemudian konflik meluas hingga melibatkan Iran, sebut catatan para analis Citigroup.

Sementara Morgan Stanley berpandangan dampak konflik terkini kemungkinan terbatas, karena belum melibatkan negara-negara produsen dan eksportir minyak utama. Namun, ini bisa berubah ketika konflik meluas ke negara-negara lain.

Sedangkan ING Groep NV menyebut harga minyak kini dikenakan ‘premi perang’. Jika Iran sampai terlibat, maka AS akan kembali memperketat sanksi sehingga minyak Iran sulit masuk ke pasar dunia. Ini akan membuat pasar yang sudah ketat makin ketat, sehingga harga naik.

Konflik Timur Tengah dan Harga Minyak

Bukan kali ini saja harga minyak terkerek karena friksi di Timur Tengah. Pada 2011, kala terjadi gerakan demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Springs, harga minyak ikut melonjak.

Sepanjang 2011, harga minyak Brent melesat 13,22% secara point-to-point. Titik tertinggi terjadi pada 8 April, di mana kala itu harga mencapai US$ 126,65/barel.

Harga Minyak Brent pada 2011 (Sumber: Bloomberg)

Lalu pada 2013, meletus pertempuran antara Irak dengan kelompok Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Sepanjang 2013, harga Brent naik 26,53%. Titik tertinggi tercipta pada 8 Februari di mana harga menyentuh US$ 118,9/barel.

Harga Minyak Brent pada 2013 (Sumber: Bloomberg)

Kemudian pada 2015 meletus perang saudara di Yaman. Pasukan Houthi berhasil merebut ibukota Sanaa. Pasukan pro-pemerintahan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi, yang disokong Arab Saudi, kemudian mencoba merebut kembali kekuasaan. Perang saudara tersebut belum menemukan resolusi hingga hari ini.

Perang saudara di Yaman memuncak pada Maret 2015, di mana Komite Revolusi Houthi memerintahkan mobilisasi untuk menggulingkan Presiden Hadi dan memperluas kendali hingga ke daerah selatan. Pada 25 Maret, Lahij berhasil dikuasai oleh pasukan Houthi.

Pada Maret hingga Mei 2015, harga Brent pun kemudian naik. Dalam 3 bulan tersebut, harga naik 10,11%. Bahkan harga Brent pada awal Mei menyentuh titik tertinggi sepanjang 2015.

Harga Minyak Brent pada 2015 (Sumber: Bloomberg)

Selanjutnya pada 2019, ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran sempat meninggi. Penyebabnya adalah serangan terhadap fasilitas pengolahan minyak di Abqaiq dan Khurais oleh pesawat tanpa awak, yang diduga milik Iran.

Serangan itu langsung berdampak ke harga minyak, karena yang diserang adalah fasilitas milik Saudi Aramco, perusahaan migas terbesar dunia. Serangan tersebut menyebabkan produksi minyak Arab Saudi turun dari 9,8 juta barel/hari menjadi 4,1 juta barel/hari.

Penurunan produksi 5,7 juta barel/hari itu setara dengan 5% produksi minyak dunia. 

Serangan terhadap fasilitas milik Saudi Aramco terjadi pada akhir September. Sejak Oktober hingga akhir 2019, harga minyak terus menanjak. Sepanjang awal Oktober hingga akhir Desember 2019, harga Brent meroket 16,22%. 

Harga Minyak Brent pada 2019 (Sumber: Bloomberg)

(aji)

No more pages