Selain Pertamina, BUMN lain yang juga memiliki kebutuhan valas cukup besar adalah PT PLN Persero. Mengacu pada Laporan Keuangan Semester I-2023 yang belum diaudit, PLN memiliki kewajiban moneter dalam mata uang asing Rp309,18 triliun per 30 Juni 2023 dalam berbagai mata uang seperti yen Jepang, dolar AS, euro dan mata uang lain.
Kewajiban dalam mata uang asing itu terdiri atas penerusan pinjaman, utang sewa pembiayaan, utang bank, utang usaha, utang obligasi dan sukuk ijarah, utang listrik swasta dan lain sebagainya.
Sampai pukul 11:31 WIB, Rabu (11/10/2023), rupiah berhasil menjauhi zona Rp15.700-an dengan menguat 41 bps ke kisaran Rp15.695/US$. Sepanjang siang ini harga dolar AS di pasar spot rata-rata bergerak di kisaran Rp15.711/US$ dengan titik terlemah rupiah di Rp15.734 pada awal perdagangan.
Cadangan Devisa Tergerus
Pelemahan rupiah yang tak terjeda sejak Mei lalu dan semakin memburuk belakangan telah signifikan menggerus cadangan devisa. Bank Indonesia menguras cadangan devisa untuk mengintervensi pasar valas, juga pasar surat utang.
Pada akhir September, posisi cadangan devisa berkurang US$ 2,2 miliar dibanding bulan sebelumnya dan menjadi yang terendah sejak November tahun lalu.
Arus keluar modal asing selama September yang menembus US$ 1,1 miliar menjadi penyebab utama terguncangnya rupiah ditambah permintaan valas dari dalam negeri yang masih tinggi membuat suplai valas mengetat meski sudah ada kebijakan mandatori devisa hasil ekspor sejak Agustus lalu.
Analis memperkirakan, Bank Indonesia mungkin akan mulai mempertimbangkan kenaikan bunga acuan BI7DRR ke level 6% tahun ini apabila rupiah terus terseret melemah menuju Rp16.000/US$ dan cadangan devisa tergerus hingga US$ 8 miliar dalam dua bulan ke depan.
Sampai saat ini BI belum menyiapkan amunisi baru untuk menangkal tekanan pada rupiah yang masih besar. Instrumen SRBI yang diharap bisa menarik modal asing segar sejauh ini belum bergigi dengan indikasi dana asing yang masuk kesana adalah migrasi dari SBN tenor pendek.
Sementara kebijakan DHE sejauh ini masih jauh dari 30% nilai ekspor RI. Berdasarkan data BI yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, baru bisa menarik valas segar sekitar US$ 1,7 miliar selama periode Agustus hingga 3 Oktober lalu, termasuk nilai rollover.
Di sisi lain, opsi menaikkan bunga acuan akan riskan dengan gejala kelesuan ekonomi seperti yang terlihat dari penurunan keyakinan konsumen dan perlambatan penjualan ritel.
Pada Agustus, penjualan ritel yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) ada di 204,1. Naik 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Meski tumbuh, ini adalah yang terendah sejak Mei atau 3 bulan terakhir.
Untuk September, IPR diperkirakan sebesar 200,2. Tumbuh sebesar 1% yoy. Jika terwujud, maka akan menjadi yang terlemah dalam 4 bulan.
(rui/aji)