Menurut Jisman, program tersebut dapat menaikkan konsumsi listrik sekitar 140 GWh atau setara dengan kapasitas pembangkit 20 MW. Tidak hanya itu, program tersebut diyakini menghemat LPG sekitar 29 juta kilo atau setara dengan 9,7 juta tabung LPG bersubsidi 3 kg.
"Program ini akan bermanfaat kepada pelanggan yang dapat menurunkan biaya sebagian memasak yang sebelumnya menggunakan LPG. Untuk pemerintah, program ini dapat mengurangi subsidi impor LPG 3 kg yang digunakan untuk memasak. Bagi PLN, program ini dapat meningkatkan penjualan listrik," imbuh Jisman.
Jisman juga menyampaikan bahwa target rumah tangga penerima AML adalah pelanggan PLN atau PLN Batam berdaya 450 VA s.d. 1.300 VA yang berdomisili di daerah tersedia listrik 24 jam menyala, rumah tangga tersebut tidak memiliki alat masak listrik atau AML.
"Alat memasak listrik ini harus memiliki kandungan dalam negeri yang dibuktikan dengan sertifikat TKDN, sesuai Standar Nasional Indonesia [SNI], dan memiliki label hemat energi. Spesifikasi AML yang akan didistribusikan antara lain berfungsi minimal memasak nasi, menghangatkan, dan mengukus dengan kapasitas sebesar 1,8—2,2 liter," sebut Jisman.
Lebih jauh, Jisman menyampaikan rice cooker yang dibagikan dalam program ini akan disematkan stiker yang bertuliskan "Hibah Kementerian ESDM" dan "Tidak untuk diperjualbelikan".
Tidak Kontekstual
Kebijakan tersebut lantas disangsikan oleh kalangan pakar energi. Aturan yang terkesan diterbitkan serta-merta, serta korelasinya dengan penggunaan energi bersih di tingkat rumah tangga dipertanyakan.
Saat dimintai keterangan pun, Menteri ESDM Arifin Tasrif tidak memberikan elaborasi. "Jalan, [program bagi-bagi] rice cooker jalan," ujarnya singkat, tanpa bersedia berkomentar lebih jauh, saat ditemui di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Merespons kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga sepakat jika pemerintah berkehendak mengurangi beban impor LPG untuk kebutuhan rumah tangga.
“Seperti yang kita ketahui, saat ini kebutuhan memasak rumah tangga saat bergantung pada gas LPG. Dengan insentif ini, pemerintah berharap terjadi bauran penggunaan energi dan pengurangan beban impor LPG,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Hanya saja, Daymas menilai pemilihan rice cooker sebagai bentuk bantuan untuk program tersebut tidak sesuai dengan konteks dan tujuan yang ingin disasar pemerintah.
“Saat ini kami melihat pemberian insentif ini kuranglah efektif dan tepat sasaran. Lebih baik pemerintah dapat memberikan alternatif yang lebih kontekstual, bergantung pada lokasi target masyarakat yang mau diberikan insentif,” terangnya.
Dengan kondisi alam dan geografis Indonesia yang sangat beragam, Daymas berpendapat masyarakat yang berada di areal perkebunan atau pertanian dapat diberi insentif alat masak dari bahan bakar charcoal/biochar yang sumber dayanya lebih mudah didapatkan.
Lalu, masyarakat di pesisir bisa diberikan alat masak tenaga surya atau kompor surya. “Dengan demikian, tidak melulu bergantung dari sumber-sumber yang justru sulit penyediaannya dari rumah masyarakat setempat,” tegasnya.
Sekadar catatan, pemerintah saat ini tengah menyiapkan data calon penerima rice cooker berdasarkan usulan dari kepala desa atau pejabat setingkat, kemudian dilakukan verifikasi yang melibatkan PLN dan PLN Batam. Selanjutnya dilanjutkan dengan pengadaan dan pendistribusian kepada masyarakat.
Adapun, beleid yang resmi berlaku pada 2 Oktober itu menyebutkan bahwa nantinya calon peneriman insentif AML dalam rumah tangga itu ada beberapa kriteria, khususnya untuk pelanggan listrik PLN dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 3 ayat (1), yang berbunyi:
- Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah dengan daya 450 (empat ratus lima puluh) volt-ampere (R-l/TR).
- Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah dengan daya 900 (sembilan ratus) volt-ampere dan 900 (sembilan ratus) volt-ampere RTM (R-l/TR).
- Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah dengan daya 1.300 (seribu tiga ratus) volt-ampere (R-l/TR), yang berdomisili di daerah yang tersedia jaringan tenaga listrik tegangan rendah yang memperoleh pasokan listrik selama 24 (dua puluh empat) jam per hari.
- Rumah tangga yang tidak sama sekali memiliki AML, yang dibuktikan dengan validasi pejabat wilayah setingkat kepala desa/lurah setempat.
(wdh)