Logo Bloomberg Technoz

Analis Industri dan Regional Bank Mandiri Ahmad Zuhdi memperkirakan, jika perang Israel-Hamas tereskalasi, harga minyak kemungkinan naik maksimal ke level US$95/barel.

Konflik Israel-Hamas yang memanas sejak kurang lebih 3 hari lalu ini, kata dia, telah berhasil mengerek harga minyak dunia ke level US$88/barel, setelah selama 10 hari terakhir sebelumnya turun hingga 10% karena kekhawatiran pasar global tentang suku bunga yang tinggi dan pertumbuhan yang melambat.

Meski demikian, Zuhdi berpendapat bahwa konflik Israel melawan kelompok militan dari Gaza, Palestina ini tidak akan mengulangi krisis minyak yang terjadi pada 1973, saat serangan pada perayaan Yom Kippur di negara Yahudi itu.

"Karena saat ini perang utamanya terjadi antara Israel dan Palestina, di mana keduanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap persediaan minyak dunia," jelasnya.

"Kami melihat tidak akan terlalu besar [dampaknya ke anomali harga minyak], karena sisi permintaan sendiri memberikan tekanan yang lebih besar ke harga. Kami melihat akan berada di bawah US$95/barel."

Ilustrasi tank minyak di Iran (Sumber: Bloomberg)

Sementara itu, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksikan konflik yang memanas di Timur Tengah bisa menaikkan harga minyak mentah hingga US$90—US$92 per barrel.

Senada dengan Zuhdi, Bhima berpendapat meski harga minyak naik, tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973 yang kala itu menembus rekor kenaikan tertinggi dari US$2 per barrel menjadi US$11 per barrel atau naik 450%.

“Faktor politik dan keamanan memang punya andil, tetapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus,” ujarnya.

Beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973, kata Bhima, adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.

Kemudian, belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November. “Berapa banyak produksi yang dipangkas masih teka-teki,” ujarnya.

Faktor lainnya adalah penguatan dolar AS yang menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.

“China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami perlambatan ekonomi hingga 2024, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4% atau di bawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5%. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi demand minyak global,” terang Bhima.

Sejarah krisis harga minyak./dok. Bloomberg

Ekonom Celios lainnya, Nailul Huda, mengatakan setiap konflik pasti akan menaikkan permintaan akan minyak karena untuk kebutuhan produksi alat perang, mobilitas perang, bahkan hanya untuk berjaga-jaga dari negara yang tidak ikut berkonflik.

“Termasuk perang antara Hamas-Israel ini, di mana harga minyak akan naik, emiten-emiten minyak akan naik juga. Karena Indonesia merupakan negara net importer minyak, maka pemerintah kita harus waspada. Impact-nya adalah impor minyak akan makin tinggi dengan harga yang lebih mahal. Subsidi dan kompensasi terhadap barang-barang ini akan membuat kantong pemerintah jebol."

Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai anomali harga minyak belakangan ini lebih dipicu oleh sentimen perpanjangan pemangkasan produksi sebanyak 1,3 juta barel per hari oleh anggota OPEC dan Rusia.

Keputusan tersebut mendorong kekhawatiran terhadap supply minyak global sehingga harga terdorong naik ke atas US$90 per barel nyaris sepanjang kuartal III-2023.  Namun, saat ini, harga minyak dunia mulai melandai ke level US$88/barel.

“Tren ini memang perlu diwaspadai mengingat asumsi [harga minyak dalam] RAPBN 2024 berada di level US$82 per barel, atau di bawah level harga saat ini yang sempat menyentuh level US$96 per barel,” kata Josua.

Meski terdapat risiko kenaikan harga minyak kembali akibat eskalasi konflik antara Israel dan Hamas, Josua menilai masih terdapat sejumlah faktor yang dapat menurunkan harga minyak ke depan dan mencegahnya bergerak kembali ke level tertinggi.

Pertama, dolar yang masih berpotensi menguat saat ini akan menekan harga minyak, mengingat transaksi komoditas hampir seluruhnya menggunakan dolar sehingga penguatan dolar akan membuat minyak menjadi relatif lebih mahal bagi konsumen.

Kedua, pelemahan ekonomi China juga berpotensi menurunkan permintaan minyak mentah karena China merupakan konsumen terbesar minyak mentah global.

Ketiga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan pada 2024 diperkirakan tidak sebaik tahun ini.  

“Sehingga ini juga akan menjadi sentimen penekan harga minyak mentah ke depan,” ucapnya.


-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages