Bloomberg Technoz, Jakarta - Tumpukan utang BUMN menyusul proyek infrastruktur yang ambisius di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun terakhir, mulai menunjukkan tanda-tanda yang meresahkan. Salah satu perusahaan konstruksi pelat merah, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) meminta penundaan pembayaran obligasi pada para kreditur untuk utang yang jatuh tempo pada 23 Februari hingga 16 Juni 2023.
Nilai utang Waskita yang jatuh tempo bulan ini mencapai US$ 151 juta atau setara Rp 2,3 triliun. Perusahaan konstruksi terbesar milik pemerintah yang tercatat di bursa saham itu meminta dukungan investor untuk langkah restrukturisasi utang dalam pertemuan pemegang obligasi pada 16-17 Februari ini.
Buntut dari permintaan penundaan pembayaran utang jatuh tempo itu, saham WSKT disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (16/2/2023). Posisi terakhir harga WSKT adalah di Rp 348 per saham. Sejak melantai di BEI pada akhir 2012, WSKT pernah melambung hingga ke posisi tertinggi Rp 2.950 per saham pada 25 Februari 2018.
Mengutip laporan keuangan kuartal III-2022, total utang bank yang ditanggung oleh Waskita mencapai Rp 47,4 triliun sedangkan total kewajiban sebesar Rp 82,4 triliun. Rasio utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio) perusahaan ini mencapai 470% atau 4,7 kali. Artinya, beban utang Waskita mencapai hampir lima kali nilai ekuitasnya. Pada 2021, emiten berkode WSKT ini telah merestrukturisasi utang bank senilai Rp 29 triliun dan meminta suntikan modal baru pada pemerintah.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, restrukturisasi utang Waskita dibutuhkan supaya perusahaan bisa bernafas. "Agar mereka [WSKT] bisa bernafas. Mereka [WSKT] perlu penangguhan utang terlebih dulu," kata Kartika, seperti dikutip Bloomberg News, Kamis (16/2/2023).
Kartika mengatakan surat berharga Waskita yang terkena restrukturisasi berjumlah sekitar setengah dari total obligasi perseroan yang beredar. Obligasi itu tidak memiliki jaminan negara.
Sejak ambisi Jokowi terhadap infrastruktur digaungkan pada 2014, setidaknya ada empat BUMN karya yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), terlibat. Mereka adalah PT PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Menilik laporan keuangan terakhir 4 perusahaan tersebut, terlihat ada lonjakan total nilai kewajiban dan utang jangka pendek yang jatuh tempo kurang dari setahun. Untuk Waskita Karya, misalnya, total kewajiban yang harus dibayar per kuartal III-2022, mencapai Rp 82,4 triliun. Ini adalah nilai utang terbesar dari empat BUMN karya yang tercatat sahamnya di bursa saham. Sebesar Rp 19,95 triliun merupakan kewajiban jangka pendek yang harus dibayarkan dalam tempo kurang dari setahun.

Adapun peringkat kedua BUMN karya yang menanggung utang besar adalah Wijaya Karya dengan total kewajiban mencapai Rp 56,75 triliun, sebesar Rp 37,37 triliun merupakan utang jangka pendek. Disusul PTPP dengan total kewajiban Rp 43,42 triliun. Sebanyak Rp 32 triliun adalah utang jangka pendek di bawah setahun. Terakhir adalah Adhi Karya dengan nilai total kewajiban sampai kuartal III-2022 mencapai Rp 31,5 triliun dan utang jangka pendek Rp 24,67 triliun.
Lonjakan utang itu terjadi sejak 2015, setelah proyek infrastruktur di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo digalakkan. Bila dibandingkan pada kuartal III-2014, total kewajiban Waskita Karya baru sebesar Rp 7,85 triliun. Mulai 2015, total utang perusahaan konstruksi ini terus melesat naik berlipat-lipat hingga terakhir di posisi Rp 82,4 triliun, sampai 30 September lalu. Total penambahan utang di 4 BUMN karya tersebut mencapai Rp 130 triliun sejak proyek infrastruktur Jokowi digaungkan.
Menilik rasio utang terhadap ekuitas, 4 BUMN tersebut juga mencatat angka yang tinggi. Selain Waskita yang mencatat DER hingga 470% atau 4,7 kali, Adhi Karya juga mencatat rasio utang hingga 517% atau 5,17 kali. Disusul WIKA sebesar 3,25 kali dan PTPP 2,95 kali.

Risiko Bank BUMN
Tumpukan utang yang ditanggung oleh BUMN karya ini juga membawa risiko bagi bank-bank pelat merah. Bank milik pemerintah tercatat sebagai kreditur besar BUMN-BUMN tersebut. Di Waskita Karya, sebagai contoh, memiliki utang jangka panjang pada bank BUMN senilai Rp 29,3 triliun, berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2022. Angka itu melampaui separuh dari jumlah total utang bank yang ditanggung oleh Waskita yang sebesar Rp 47,4 triliun.

Kredit bank BUMN bukan hanya di Waskita saja. Adhi Karya juga menanggung utang jangka pendek pada bank-bank BUMN sebesar Rp 1,98 triliun, per 30 September lalu. Sedangkan Wijaya Karya, memiliki tanggungan utang jangka pendek terhadap pihak berelasi sebesar Rp 8,59 triliun.
Tercatat di barisan kreditur pelat merah WIKA adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Syariah Indonesia, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Indonesia Infrastructure Finance, PT Bank Negara indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN).
Bisa Memicu Krisis
Ancaman risiko dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah bagi kesehatan BUMN dan pada akhirnya bagi kesehatan keuangan negara, sudah lama digaungkan oleh banyak pihak. Kesulitan Waskita dalam membayar utang jatuh tempo hingga mengharuskan pemerintah turun tangan mendorong restrukturisasi utang, bukanlah sesuatu yang tidak terduga.
“Banyak penugasan proyek infrastruktur dari pemerintah yang secara finansial tidak layak akan tetapi dipaksakan pada BUMN infrastruktur ini. Jadi, ketika tidak sesuai kapasitas keuangan, yang terjadi, ya, krisis pembayaran,” kata Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada Bloomberg Technoz, Kamis siang (16/2/2023).
Proyek infrastruktur membutuhkan waktu lama untuk bisa menghasilkan pendapatan. Melihat dampak ekonomi ke depan, menurut Tauhid, mungkin saja memang akan memberikan pendapatan yang bagus bagi perusahaan.
Akan tetapi, dari sisi kekuatan finansial, nyatanya BUMN karya belum cukup kuat menanggung beban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. “Kebijakannya kurang prudent, terlalu dipaksakan karena mengejar prestise sehingga bila terjadi seperti Waskita, kita tidak terkejut,” kata Tauhid.
Skenario Terburuk
Utang-utang BUMN karya yang menggunung menaikkan risiko keuangan juga bagi negara. Ketika BUMN kesulitan keuangan, pemerintah harus siap memberikan bantuan seperti menyuntikkan modal segar ataupun mendorong restrukturisasi utang. Mengutip data Kementerian Keuangan, pada 2022, pemerintah sudah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada 7 BUMN senilai total Rp 38,5 triliun, 3 di antaranya adalah BUMN di sektor infrastruktur.
Yaitu, sebesar Rp 3 triliun untuk PT Waskita Karya Tbk, mendukung penyelesaian ruas tol Kayu Agung-Palembang-Betung dan Bogor-Ciawi-Sukabumi. Lalu, sebesar Rp 1,97 triliun untuk PT Adhi Karya Tbk, sebagai investasi pada jalan tol Solo-Yogya-Kulonprogo, Yogyakarta-Bawen dan SPAM Regional Karian-Serpong. Suntikan modal terbesar diberikan pada PT Hutama Karya senilai Rp 23,85 triliun untuk melanjutkan pembangunan 8 Tol Trans Sumatra (JTTS).
Ketika perusahaan milik negara terus menerus dalam kondisi kesulitan keuangan, skenario terburuk agar "perdarahan" finansial bisa dihentikan, salah satunya adalah dengan melego kepemilikan atau saham pada pihak kreditur. "Yang terburuk, ya, seperti kasus Garuda Indonesia," kata Tauhid.
(rui/aji)