China juga berencana untuk membangun 20 pusat komputasi pintar tambahan dalam dua tahun. Jaringan optik yang lebih besar dan penyimpanan data yang lebih canggih akan dipasang hingga 2025, kata regulator.
Daya komputasi tambahan akan mendukung sektor manufaktur, pendidikan, keuangan, transportasi, perawatan kesehatan, dan energi.
“China berencana untuk memperkuat sinergi dalam industri dan melindungi rantai pasokan dengan mengembangkan solusi yang dapat dikontrol, dan mendorong penggunaan perangkat software buatan sendiri yang dapat diandalkan,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Keamanan rantai pasokan adalah aspek kunci dari pembangunan infrastruktur tersebut, menurut Kementerian tersebut.
AS telah menekan ekspor produk kelas atas untuk pasar China, termasuk cip dari Nvidia Corp. Cip produksi Nvidia adalah perangkat terpenting dalam melatih model AI.
Negara Asia ini sekarang mendorong adopsi produk TI buatan sendiri dari sistem operasi hingga cip memori. Pembatasan rantai pasok membuat Beijing memimpikan kemandirian dalam bidang teknologi dan terbebas dari ketergantungan Amerika.
Huawei Technologies Co. dan Semiconductor Manufacturing International Corp. (SMIC) telah masuk dalam daftar hitam Amerika. Keduanya di antara yang paling aktif dalam memajukan teknologi lokal.
Huawei dan SMIC kini mampu mengembangkan cip canggih untuk smartphone terbaru Huawei. Hal yang menjadi langkah secara keseluruhan dan menimbulkan pertanyaan tentang keefektifan pembatasan Washington.
Di tengah upaya pengembangan AI oleh China, negara lain seperti Jepang terus mengintensifkan pengembangan teknologi AI, khususnya pada bidang riset dan penelitian. Target pengembangan AI secara mandiri dilakukan pemerintah Jepang agar menjamin dari sisi keamanan data.
Lewat pengembangan teknologi AI di tingkat lokal, juga akan meningkatkan daya saing nasional, seperti dilaporkan Nikkei bulan Juli, dengan sebuah lembaga penelitian Riken, sebagai pemimpin proyek pengembangan AI ini.
Teknologi AI mulai diuji coba pada laboratorium eksternal dan perusahaan pada tahun fiskal 2025. Proyek akan tersedia bagi peneliti pada tahun fiskal 2031.
Dalam perkembangan terbaru, Jepang juga akan mengusulkan aturan bagi para pengembang bidang generatif AI, seperti disampaikan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam pidatonya, Senin di Kyoto, dilansir dari surat kabar Yomiuri Shimbun.
Aturan bidang generatif AI, kata Kishida, bertujuan untuk memerangi misinformasi dengan membantu masyarakat membedakan antara gambar dan informasi yang dihasilkan oleh AI dan non-AI. Selanjutnya, kata Yomiuri, draf aturan AI tersebut akan diusulkan selama pertemuan G7 secara online, pada awal musim gugur ini.
Dibutuhkan regulasi yang berimbang, jelas Kishida. Belum lagi bila melihat kemampuan generatif AI untuk menghasilkan citra dan informasi rumit yang dapat membingungkan publik dan mengancam ekonomi, kata laporan itu.
Pemagaran aturan soal sistem kecerdasan buatan juga tengah dibahas oleh masyarakat Eropa. Akan ada aturan lebih ketat dari Uni Eropa (UE) lewat AI Act di masa mendatang.
Perwakilan Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan negara-negara Uni Eropa sedang berdiskusi perihal pendekatan guna mengatasi masalah yang muncul oleh model bahasa besar— teknologi yang mendasari chatbot AI, seperti GPT-4 OpenAI. Mesyarakat Eropa juga ingin memastikan startup baru tidak terlalu terbebani oleh peraturan, kata orang-orang yang mengetahui masalah ini.
Inisiatif pembatasan ini masih bersifat awal dan belum dituangkan dalam draf tertulis sehingga masih berpeluang dapat berubah, kata orang-orang tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena membahas percakapan pribadi.
Ini adalah pendekatan berjenjang—serupa dengan Digital Services Act (DSA) yang baru-baru ini diluncurkan oleh Uni Eropa. Meskipun DSA mewajibkan semua platform dan situs web untuk mengambil tindakan guna melindungi data pengguna dan memantau aktivitas ilegal, kontrol yang paling ketat diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan besar, seperti Alphabet Inc. dan Meta Platforms Inc.
Uni Eropa dapat menjadi pemerintah negara-negara Barat yang pertama menerapkan aturan wajib tentang teknologi AI. Lewat AI Act, perusahaan AI harus melakukan penilaian risiko dan memberi label deepfake, di antara persyaratan lainnya
Para negosiator ingin menyelesaikan undang-undang tersebut pada akhir tahun dengan target kesepakatan pada pertemuan berikutnya, 25 Oktober.
Masih ada sejumlah masalah utama yang tersisa, termasuk bagaimana tepatnya mengatur generatif AI. Termasuk, apakah akan sepenuhnya melarang scan wajah (biometric) secara langsung.
Diketahui, Parlemen Eropa mendukung pelarangan total pengawasan biometrik ini - sesuatu yang telah dikatakan oleh banyak negara Uni Eropa bahwa mereka akan menolaknya.
Ayu Purwarianti, Head AI Centre Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam kesempatan terpisah menyatakan, teknologi seperti ChatGPT perlu dikembangkan setiap negara, termasuk Indonesia. Namun untuk mewujudkannya relatif lebih sulit, karena data dan infrastruktur yang tersedia jumlahnya kecil. Apalagi jika dibandingkan negara-negara lain.
“Teman-teman research sendiri sudah sangat ingin bikin ChatGPT versi Indonesia, kalau ngomongin model bahasa. Kita sudah punya beberapa, tapi data kita kecil. Kalau mau bikin data yang besar, butuh dana yang besar juga. Pekerjaan rumahnya di sana," terang Ayu.
Terdapat dua jenis data yang harus disiapkan. Pertama, unsupervised learning yaitu teknik pembelajaran mesin yang pengguna tidak perlu mengawasi permodelannya. Ini juga menyoal copyright atas data yang akan dipakai.
"Ini lagi ditunggu sama pemerhati AI, kalau itu jadi problem banyak perusahaan. Kedua itu, harus orang yang bikin data, dimasukkin ke dalam teknologinya ini, yang kita kesulitan. Saya sudah pernah gaet beberapa donatur, tapi dananya tidak cukup. Kalau pun ada [dana pengembangan teknologi AI] kita belum bisa seperti mereka, negara lain karena dana terbatas
Permodelan bahasa besar yang menjadi jantung teknologi generatif AI, juga menyimpan risiko, jelas Ayu. Misalnya etika pemanfaatan, plagiarisme, dan regulasi. Apalagi dalam ruang lingkup akademik. Contoh paling nyata adalah pembuatan paper dari mahassiwa yang memanfaatkan teknologi AI, seperti ChatGPT. Hal ini akan mereduksi kemanpuan analisis manusia. Daya kritis dan kreatif juga menjadi tumpul. Kekhawatiran misinformasi dalam pemanfaatan teknologi AI, menjadi perhatian Ayu.
- Dengan asistensi Nicholas Takahashi, Jillian Deutsch
(wep)