Untuk program biodiesel, lanjutnya, pemerintah telah meningkatkan standar bauran dari hanya 2,5% pada 2008 menjadi 35% atau B35 mulai Februari 2023.
"Implementasi program biofuel juga dimaksudkan untuk mengurangi emisi hingga 31,9% di bawah [skema] BAU [business as usual] pada 2030, dan memenuhi target bauran energi sebesar 23% pada 2025," ujarnya.
Pengembangan Bioetanol Lambat
Selain minyak sawit, bahan baku tetes tebu juga diandalkan untuk memproduksi bensin bioetanol. Walakin, Arifin tidak menampik program pengembangan bioetanol masih belum berjalan seoptimal biodiesel.
Pada 2008—2009 dan 2015—2016, bauran bioetanol dalam bensin masih dilakukan dalam skala kecil akibat harga bahan baku yang mahal, serta keterbatasan infrastruktur pendukung program bioetanol.
“Meski demikian, pada November 2022, Presiden Joko Widowo telah mencanangkan program bioetanol dari tanaman tebu di Mojokerto Jawa Timur untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Kemudian pencampuran bioetanol juga tengah dilaksanakan Pertamina melalui campuran bensin Etanol 5% dengan RON 95 pada produk Pertamax Green 95 yang saat ini telah tersedia di beberapa SPBU di Surabaya dan Jakarta.”
Untuk lebih mengembangkan bioetanol ke depannya, Arifin mengatakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati.
"Perpres tersebut didorong karena terbatasnya bahan baku tebu, dan juga terbentur dengan masalah pangan, sehingga pemerintah mendorong pengembangan bahan bakar nabati berbasis potensi lokal dan akan menciptakan pasar baru bagi produk pertanian lokal," ujarnya.
(wdh)