Berdasarkan catatan Bloomberg, jalur ini menjadi tuan rumah bagi pergerakan hampir 17 juta barel minyak mentah dan kondensat setiap harinya, serta membidani arus lalu lintas bagi sepertiga alur perdagangan minyak global dan menjadi jalan keluar bagi produksi minyak asal Teluk Persia.
“Terlebih, berdasarkan laporan IEA [International Energy Agency], Selat Hormuz ini didominasi tanker dengan tujuan Asia [termasuk Indonesia],” jelas Ahmad.
Pun demikian, Ahmad mengatakan, baik Israel maupun Palestina memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap persediaan minyak dunia. Hal inilah yang menjadi faktor pemberat risiko terulangnya tragedi krisis minyak setelah serangan ke Negara Yahudi itu pada perayaan Yom Kippur 1973.
“Saat ini perang utamanya terjadi antara Israel dan Palestina, di mana keduanya memiliki pengaruh kecil terhadap persediaan minyak dunia. Sebaliknya, Yom Kippur itu perang antara negara-negara Arab dengan Israel, di mana negara-negara Arab merupakan produsen minyak terbesar, dan perang pasti memengaruhi aktivitas produksinya,” tutur Ahmad.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperingatkan harga minyak dunia yang sempat melandai sepekan terakhir berpotensi kembali terkerek ke rentang US$90—US$92 per barel, sebagai imbas eskalasi konflik antara Israel dan kelompok Hamas.
Dia mengatakan harga minyak dunia di pasar spot sudah sempat turun ke level US$83 per barel, setelah sempat membandel di atas US$90 per barel nyaris sepanjang kuartal III-2023.
“Meski minyak berisiko naik akibat konflik Israel-Hamas, tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973, yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi sepanjang sejarah yaitu dari US$2 per barel menjadi US$11 per barel atau naik 450%,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/10/2023).
Bhima mengelaborasi faktor politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah memang punya andil terhadap fluktuasi harga minyak dunia, tetapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali akibat faktor pasokan dan permintaan sekaligus.
Faktor Pemberat
Beberapa faktor yang membuat harga minyak kali ini tidak akan seliar tragedi Yom Kippur pada 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.
“Kemudian, belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November. Berapa banyak produksi yang dipangkas masih teka-teki,” tutur Bhima.
Faktor lain yang akan menahan harga minyak tidak sampai ke zona krisis adalah nilai tukar dolar AS yang menguat dan menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor akibat selisih kurs.
“China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami perlambatan ekonomi hingga 2024, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4% atau di bawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5%. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga memengaruhi permintaan minyak global,” ujarnya.
Per hari ini, Senin (9/10/2023), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November sendiri telah naik menjadi US$86/barel, atau sekitar 4,5% sejak akhir pekan lalu.
Harga minyak Brent untuk pengiriman Desember juga telah naik 3,5% sejak pekan lalu menjadi US$87,55/barel.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)